Jakarta, Aktual.co — Kita tidak tahu tepat gerangan yang terjadi di balik simpang siur polemik mengapa KPK mendadak ‘mentersangkakan’ Komjen Budi Gunawan. Calon tunggal Kapolri yang ‘diloloskan’ semua fraksi 10 parpol di DPR itu, diduga menerima gratifikasi. Polemik meliar jadi bola panas karena mulai melibatkan nama besar hingga Presiden Jokowi, mantan presiden SBY Ketua Umum Partai Demokrat, dan mantan presiden Megawati Ketua Umum PDI Perjuangan.
Oleh beberapa pengamat dan sejumlah media,npolemik dipelitir seakan ada konflik kelembagaan antar Polri dengan KPK. TNI dikesankan ‘diterlibatkan’ di dalam konflik, seiring ‘pemunculan’ kasus Bareskrim Polri yang tiba-tiba menangkap komisioner KPK, Bambang Widjojanto, selaku tersangka pemberi keterangan palsu.
Padahal Kepala Bareskrim baru ‘diserahterimakan’ dari Komjen Suhardi Alius kepada Komjen Budi Waseso. Bila Waseso yang belum sempat berbenah di Bareskrim disebut loyalis Budi Gunawan, maka Alius konon sempat menghadap SBY. Yakni sebelum Alius ‘diam diam’ menemui Widjojanto di KPK, semalam jelang Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati, ditetapkan Abraham Samad sebagai tersangka.
Ekspos drama penangkapan Wakil Ketua KPK yang ‘kebetulan berbusana Muslim’ itu otomatis membuyarkan isu yang berpotensi rawan sehari sebelumnya. Padahal Plt Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, sempat menyingkap bahwa Ketua KPK Abraham Samad melanggar kode etik pejabat publik. Samad, katanya, memanipulasi wewenang kepemimpinan KPK agar dipilih menjadi cawapres pendamping Jokowi pada Pilpres lalu.
Hasto yang mengaku siap dikonfontir bersama dengan para saksinya, membeberkan bahwa Samad dalam pertemuan terakhir dengan petinggi PDI Perjuangan sempat mengaku telah tahu lebih dulu jika dia tersisih oleh Jusuf Kalla. Antara lain karena Budi Gunawan menentang Samad menjadi cawapres. Konon dia tahu berkat menyadap pembicaraan telpon mereka.
Banyak cerita burung beredar yang menyebut nama-nama besar di balik kisruh ini. Seperti kisah mengapa ada anak petinggi yang tak kunjung di-tersangka-kan oleh KPK, padahal semua pejabat kunci partai disekelilingnya telah tervonis korupsi.
De Javu. Mirip misteri faktualitas kebenaran Letkol Untung dari Cakrabirawa, pengawal Presiden Soekarno, yang mengaku menemui Pangkostrad Mayjen Soeharto sebelum melancarkan Gerakan 30 September. Gerakan penculikan enam jendral, yang kelak dikabarkan pernah memeriksa Soeharto dalam skandal korupsi di Kodam Diponegoro. Semisteri peran Letkol Latief terhadap Soeharto pada September 1965 maupun teka teki kedekatan Syam Kamaruzaman dari Biro Chusus PKI dengan Soeharto semasa di Yogyakarta dahulu.
Sejarah memang penuh misteri. Banyak data tersembunyi, bahkan disembunyikan. Perlu terus penelitian ulang dan tafsir teraktual sesuai novum. Apalagi pada kemelut yang kini berlangsung, masing-masing pihak punya kepentingan sendiri. Mereka punya akses kuat ke media massa, lengkap dengan pasukan propagandis dan fans club masing-masing di sosial media FB maupun Twitter.
Hingar bingar penyesatan opini publik pun marak. Polemik pun bergeser seolah ada yang Anti Pembrantasan Korupsi atau ingin membubarkan KPK. Persis tahun 1965 begitu kasus ‘perseteruan internal TNI-AD’ dikapitalisasi menjadi Anti Komunis. Kapitalisasi yang ditunggangi kepentingan geopolitik global era perang dingin dengan syahwat modal asing yang mengincar kekayaan Nusantara, sehingga Freeport berhasil mulus menguasai tambang tembaga lengkap dengan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, produk hukum pertama Orde Baru yang disalin mentah sebegitu rupa.
Ekspos foto jenazah para jenderal, ditambah bumbu fitnah ‘penyiletan penis para jendral’ dan ‘pesta tarian harum bunga’ oleh para sukarelawan Gerwani dan Pemuda Rakyat, menjadi pemicu skenario amuk massal. Dengan memelintir lokasi faktual Lubang Buaya di kawasan pangkalan udara Halim Perdanakusumah, Soeharto pun meng-character assassination TNI AU yang dikenal sebagai loyalis Soekarno.
Kita tak tahu siapa yang berbohong. Siapa yang tak jujur. Mungkin kita semua memang tak jujur. Karena mencari yang jujur, seperti pemeo Anak Jakarte, kagak segampang nyari ‘jujur kacang ijo’. Jadi ada baiknya kita cermati kilah cerdas Donald Rumsfeld, yang dua kali jadi menteri pertahanan 1975-1977 era Presiden Gerald Ford dan 2001-2006 semasa Presiden George Walter Bush.
Saat news briefing di Kemhan AS, Februari 2002, Rumsfeld dicecar pertanyaan Jim Miklaszewwski dari NBC atas ketiadaan bukti yang menautkan rezim Saddam Hussein dengan organisasi teroris (Islam?). Tak ada satu pun bukti Saddam itu memasok senjata pemusnah massal. Padahal, Irak terlanjur peranda diduduki AS.
Dalam film dokumenter Amerika 2013 yang disutradarai Errol Morris berjudul The Unknown Known: The Life and Times of Donald Rumsfeld ini, intelejen kawakan AS itu berkilah: “ … there are no “knowns.” There are things we know that we know. There are known unknowns. That is to say there are things that we now know we don’t know. But there are also unknown unknowns. There are things we do not know we don’t know.”
Pada dasarnya, Rumsfeld berkilah, tidak ada “knowns” (yang diketahui). Karena, ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu. Ada yang diketahui tak diketahui. Itu untuk menyebut ada hal-hal yang kita sekarang tahu kita tidak tahu. Tapi ada pula yang tak diketahui (itu) tidak diketahui. Ada hal-hal yang kita tidak tahu, kita tidak tahu.
Tertayang, Rumsfeld menekankan, meski yang disampaikan terkesan bak teka-teki. Namun itu bukan teka-teki. Karena sesungguhnya itu hal yang penting dan sangat serius. Dengan kata lain, ketidakadaan bukti bukanlah bukti ketidakadaan.
Kini jika kisruh BG versus AS diarah-arahkan menjadi isu pemakzulan bertahap (impeachment) melalui hak-hak konstitusional DPR dan kelak MPR, tentu khalayak yang terbebaskan dari amnesia politik akan teringat pada gaya kudeta merangkak Soeharto terhadap Soekarno. Kudeta yang disponsori para agen neolib atau antek nekolim (neo kolonialisme imperialisme) dalam istilah Bung Karno.
Saat ini masalah kita bersama justru bagaimanakah jika semua itu beranjak dari kebohongan demi kebohongan, seperti tragedi nasional Lubang Buaya? Kebohongan yang difabrikasi sedemikian rupa, hingga tak jelas lagi mana kawan mana lawan. Semua itu akibat ulah oligopoli perancuan pendapat umum lewat industri media, sebagaimana monopoli satu arah pemberitaan pers pasca G30S.
Padahal berbohong itu memerlukan beberapa syarat utama. Pertama harus punya ketajaman daya ingat. Kedua taat konsisten dengan kebohongannya. Ketiga secara faktual semua orang pasti bisa dibohongi. Keempat memang ada orang tertentu yang bisa dibohongi seumur hidupnya.
Namun jangan pernah lupa, ada hukum kelima dalam berbohong. Yaitu, tak pernah ada pembohong yang bisa membohongi semua orang seumur hidup. Seperti semasa Orde Baru, berkat adegan dalam film propagandis wajib tayang TVRI tiap tanggal 30 September yang berjudul ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI’, khalayak pasti selalu ingat ucapan yang terus mengiang: ‘Darah rakyat itu merah, jenderal.’
Artikel ini ditulis oleh: