Jakarta, aktual.com – Peneliti Senior Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr Rachmad Trijono menilai Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mulai bertransformasi menjadi penjaga demokrasi dengan melihat putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) terkait Pilpres 2024 beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, selain menjaga konstitusi, putusan tersebut juga menunjukkan adanya penjagaan terhadap nilai-nilai demokrasi, karena ada tiga hakim konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion).
“Tapi baru awal ini, langkahnya masih jauh untuk benar-benar sebagai penjaga demokrasi,” kata Rachmat dalam kegiatan webinar bertajuk Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang dipantau dari Jakarta, Senin (29/4).
Menurutnya, peran MK dalam menjaga demokrasi pun sudah terlihat sebelum tahapan putusan. Walaupun pihak termohon telah mengajukan eksepsi, MK pun tetap melanjutkan proses persidangan PHPU tersebut hingga putusan akhir.
“Namun, karena tidak ada aturan dan perangkat hukum mulai dari konstitusi yang mewadahi dan mendukung MK, maka hasil akhirnya itu ditolak begitu,” kata dia.
Maka dari itu, menurutnya, MK harus didukung dengan beberapa perangkat perundang-undangan agar lembaga itu bisa mengawal nilai-nilai demokrasi, karena selama ini MK hanya memiliki wewenang untuk mengadili hasil pemilu.
“Saya melihat bahwa ada awal transformasi dari sekadar menjaga konstitusi, menjadi penjaga demokrasi, hanya saja belum ada perangkat yang memadai,” katanya.
Sebelumnya, pada saat pembacaan putusan Senin (22/4), MK menolak seluruh permohonan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.
MK dalam konklusi-nya menyatakan permohonan dari para pihak pemohon itu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Namun terhadap putusan itu, tiga Hakim Konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Tiga hakim konstitusi itu kompak menilai Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah. Mereka menyatakan berbeda pendapat dengan lima hakim konstitusi lainnya yang memutuskan menolak seluruh permohonan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain