Jakarta, Aktual.co — Seorang teman pernah bertanya. Benarkah negara ini sudah bisa dikatakan sebagai negara mafia (mafia state)?
Di wikipedia, negara mafia diartikan seperti ini: “A mafia state is a state system where the government is tied with organized crime, including when government officials, police, and/or military take part in illicit enterprises”. Bahasa gampangnya, sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara mafia jika pemerintah, polisi dan atau militer bergandeng tangan dengan organisasi mafia untuk menjalankan sistem kenegaraan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Jadi, setiap keputusan politik, hukum dan ekonomi (bahkan bisa sosial dan budaya) yang dibuat oleh negara harus merepresentasikan kepentingan mafia.
Lalu, saya balas pertanyaan teman itu. Apa yang membuat kamu bertanya seperti itu? Apakah kamu sudah melihat realitas bahwa negara ini adalah negara mafia?
Dia menjawab: “Nih, dari keseharian kita aja ya… Saat saya parkir sepeda motor saja, saat itu saya sudah berhadapan langsung sama mafia. Mau alasan lain lagi? Kemarin saya ngurus tilang motor di pengadilan. Setengah jam selesai dengan bayar Rp100 ribu lewat calo pengadilan. Tak perlu ngantri seharian yang itupun juga harus bayar Rp80 ribu-an, kata calo itu. Padahal ente tau kan, dulu tilang bisa langsung dibayar lewat bank. Gak perlu ngantri”.
Saya membalas pernyataannya. “Itu bukan fakta bahwa negara ini adalah negara mafia”.
Dia tersenyum. “Sikap, sifat, perilaku dan karakter anak kita sebagian besar dipengaruhi langsung dari orang tuanya. Sama dengan negara. Apa yang terjadi adalah cermin dari sistem pemerintahan yang ada. Cermin dari sejarah, perbuatan dan tingkah laku yang dibuat dan diputuskan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif yang membuat sistem pemerintahan berjalan”.
Sambil mengambil sebatang rokok, dia kemudian mengatakan seperti ini. “Anehnya, kenapa ya saya kok menikmati semua itu ya? Saya tak masalah ditarik Rp2000 atau kadang Rp3000 ketika bayar parkir motor saya di jalan. Saya bersyukur ternyata ada calo yang bantu saya ngurus tilang, karena saya tidak perlu ngantri berjam-jam. Saya menikmatinya ha ha ha…”.
———————–
Obrolan sederhana itu sangat mengusik.
Saya tidak bisa membayangkan ketika mafia sudah masuk ke ranah hukum. Menentukan keputusan-keputusan UU penting tentang hajat hidup orang banyak di DPR. Ikut berperan juga dibalik layar dalam memutus kasus-kasus di Tipikor, MK, MA, bahkan sampai KPK. Atau dugaan peran mafia yang ikut berperan dalam kasus Jokowi, Budi Gunawan versus KPK yang mengguncang itu.
Saya juga tak bisa membayangkan ketika mafia migas ikut menentukan harga bbm, harga beras, harga gula, harga obat/rumah sakit sampai harga buku pelajaran anak saya.
Kalau ini benar, apa yang dilakukan mafia memang benar sudah membentuk tulang dan darah kita. Karena sudah mengalir di darah dan membentuk tulang, kita tidak tahu lagi bahwa mafia itu ternyata sudah hadir dalam keseharian kita. Dan kita menikmatinya.
Itu mungkin yang menyebabkan kita dan saya memang menikmati hidup di negara mafia. Dan itu juga yang membuat kita tak terlalu peduli soal mafia-mafiaan. Apa itu mafia migas, mafia peradilan, mafia pajak, mafia kepolisian, mafia tentara, mafia judi, mafia tki, mafia tanah, mafia beras, mafia pupuk, mafia gula, mafia ikan, mafia garam dan ratusan bahkan ribuan mafia kalau ada.
Bagi kebanyakan atau rakyat kecil (yang tidak paham istilah dan teori negara mafia atau mafia state) hanya paham satu hal: Kami. Saya dan keluarga saya harus hidup entah ada mafia atau tidak!!
Pertanyaannya, apakah benar negara sudah melakukan kewajibannya untuk melindungi rakyatnya yang tidak pernah paham apa yang dilakukan mafia ini? Apakah benar juga negara merasa nyaman juga ketika kebanyakan anaknya (rakyat) ternyata juga sangat menikmati hidup di negara mafia?
Lalu siapa yang care soal ini. Soal mafia state?
Artikel ini ditulis oleh: