Jejak Panjang Korupsi BJB, dari Kredit Fiktif ke Sindikasi

Jakarta, Aktual.com – Di tengah upaya memperkuat ekonomi daerah, Bank Jabar Banten (BJB) justru berkali-kali tersandung kasus hukum. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, sejumlah kasus korupsi bermunculan, sebagian besar terkait praktik kredit bermasalah, penyalahgunaan anggaran, dan pengadaan fiktif.

2009: Titik Awal
Kasus pertama yang mengemuka terjadi pada 2009. KPK menetapkan mantan Direktur Utama BJB, Umar Syarifudin, dan dua direktur lainnya karena menarik dana dari cabang tanpa prosedur resmi. Dana tersebut tidak disetorkan ke kas negara, melainkan digunakan untuk kepentingan di luar aturan. Dalam waktu yang sama, dua pegawai serta konsultan terlibat dalam kasus proyek fiktif yang merugikan keuangan bank.

2013: Modus Kredit untuk Proyek Tak Nyata
Kejaksaan Agung menangani kasus penyaluran kredit bermasalah kepada PT Cipta Inti Permindo. Pinjaman senilai Rp 55 miliar yang seharusnya digunakan untuk proyek pakan ikan justru dialihkan ke aktivitas lain yang tidak sesuai. Penyidikan menetapkan enam orang sebagai tersangka, termasuk pejabat bank dan pihak swasta.

2014–2016: BJB Syariah dan Proyek Bayangan
Lewat jalur syariah, BJB kembali tersandung. Fasilitas pembiayaan mencapai Rp 548 miliar diberikan untuk proyek properti yang tidak pernah terealisasi, yaitu “Garut Super Block.” Dana digelontorkan melalui perusahaan palsu. Tokoh utama kasus ini, Andy Winarto, akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara setelah sempat menghilang.

2021: Kasus Cabang yang Menguatkan Pola
Dari Indramayu, kasus serupa kembali muncul. Seorang pegawai cabang BJB bersama pejabat daerah memalsukan dokumen proyek dan mencairkan pinjaman sebesar Rp 600 juta. Meski nilai kerugiannya relatif kecil, skema yang digunakan mencerminkan pola berulang dari pusat hingga daerah.

2025: Dana Publik dan Kredit Sindikasi Bermasalah
Kasus korupsi pengadaan iklan fiktif di Bank BJB kembali mencuat ke permukaan pada awal 2025. KPK menetapkan lima orang tersangka, termasuk eks Direktur Utama Yuddy Renaldi dan Kepala Divisi Corporate Secretary BJB, atas dugaan manipulasi anggaran promosi senilai Rp 409 miliar. Penyidikan berkembang ke sejumlah agensi periklanan yang diduga menerima aliran dana tidak sah.

Nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ikut mencuat dalam pusaran penyidikan. Penyidik KPK telah menggeledah rumah pribadinya dan beberapa aset lain guna menelusuri potensi keterkaitan aliran dana dari proyek iklan tersebut. Menanggapi situasi ini, Ridwan Kamil menyatakan bahwa dirinya siap mengikuti seluruh proses hukum dan mendukung langkah pemberantasan korupsi.

“Saya tidak merasa bersalah, dan saya tidak akan lari dari tanggung jawab sebagai warga negara yang taat hukum,” ujarnya kepada wartawan di Bandung.

Arsitek jebolan ITB ini juga menambahkan bahwa seluruh kegiatan selama menjabat Gubernur telah dijalankan sesuai mekanisme pemerintahan yang sah. Meski demikian, Ketua KPK Setyo Budiyanto menyatakan bahwa sampai saat ini, Ridwan Kamil belum ditetapkan sebagai tersangka.

“Status yang bersangkutan masih sebatas saksi,” tegas Setyo, seraya menekankan bahwa proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur penyidikan yang berlaku.

Kasus ini menjadi perhatian luas publik karena melibatkan lembaga keuangan daerah yang semestinya menjalankan prinsip kehati-hatian, serta tokoh politik dengan pengaruh besar secara nasional.

Masalah berlanjut ketika Kejaksaan Agung menemukan pelanggaran dalam skema kredit sindikasi ke PT Sritex sebesar Rp 692 miliar.

Sementara itu, Bank BJB sendiri baru-baru ini mengungkapkan kasus penyimpangan internal yang tidak berasal dari temuan aparat penegak hukum, melainkan hasil investigasi internal mereka sendiri.

Seorang pegawai bank cabang Karawang diketahui telah melakukan pencurian dana nasabah sebesar Rp 2,1 miliar. Uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian barang-barang mewah dan kebutuhan konsumtif lainnya.

Pihak bank menyatakan telah mengambil tindakan tegas dengan memecat pelaku dan menyerahkan proses hukumnya kepada kepolisian. Kasus ini menambah daftar panjang penyimpangan internal BJB yang terdeteksi tidak dari proses hukum eksternal, melainkan dari pengawasan operasional mereka sendiri.

Kredit Bermasalah: Pola yang Berulang
Rangkaian kasus ini memperlihatkan satu pola yang konsisten, yaitu kelonggaran dalam proses pemberian kredit dan pengawasan internal yang lemah. Dari level manajemen hingga divisi cabang, pengambilan keputusan yang tidak sesuai prosedur telah membuka celah penyimpangan.

Meski beberapa pelaku telah dihukum, belum tampak perbaikan signifikan dalam sistem tata kelola dan mitigasi risiko. Selama praktik lama tak berubah, pertanyaan publik tetap relevan, kapan akar masalah ini akan benar-benar dibenahi?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto