Ilustrasi: Right Man in the Wrong Place: Panggung Sandiwara Meritokrasi di Kursi Komisaris BUMN

Aktual.com – Jakarta, Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini justru menghadapi masalah struktural yang semakin dalam, yaitu praktik rangkap jabatan di jajaran komisaris dan dewan pengawas.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 menunjukkan bahwa ini bukan sekadar anomali birokrasi, tapi pola sistematis yang mencerminkan bobroknya tata kelola.

ICW mencatat ada 167 individu yang rangkap jabatan di 202 entitas BUMN, termasuk anak dan cucu usaha, bahkan beberapa memegang enam jabatan sekaligus. Potensi honorarium negara yang dihabiskan untuk praktik ini mencapai Rp 96,2 miliar per tahun.

Era berganti, namun praktik serupa kembali terulang pada awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebanyak 33 pejabat negara dan pemerintahan, termasuk wakil menteri dan wakil kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO), diberi posisi komisaris di berbagai BUMN dan anak usahanya.

Sayangnya, penunjukan ini justru semakin menjauhkan BUMN dari perbaikan. PT Waskita Karya merugi Rp 2,07 triliun pada semester I 2023, Wijaya Karya rugi Rp 7,12 triliun sepanjang 2023, Garuda Indonesia mencatat kerugian USD 72,7 juta di akhir 2024 dan kembali rugi Rp 1,2 triliun pada kuartal I 2025, sementara Bio Farma juga tercatat merugi Rp 9,13 miliar.

Lebih dari itu, banyak dari wakil menteri yang rangkap jabatan justru ditempatkan di sektor yang sama sekali tidak relevan dengan posisi kementeriannya.

Wamen Kesehatan Dante Saksono duduk di Pertamina Bina Medika, Wamen Kebudayaan Giring Ganesha di GMF AeroAsia, Wamen Perempuan Veronica Tan di Citilink Indonesia.

Wamen ATR Ossy Dermawan dan Wamen Imigrasi Silmy Karim di Telkom Indonesia, Wamen Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Indonesia Ratu Isyana Bagoes Oka di Dayamitra Telekomunikasi.

Selain itu, Wamen Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono dan Wamen Desa Ahmad Riza Patria di Telkomsel, hingga Wamen HAM Mugiyanto di InJourney Aviation Services.

Peneliti TI Indonesia, Asri Widayati, menyebut bahwa ini adalah kesalahan berulang.

“Fenomena komisaris dari jalur politik menjadi bagian dari konflik kepentingan. Fungsi-fungsi strategis yang melekat pada komisaris seperti pengawasan pada akhirnya akan lumpuh,” tegasnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Aktual.com, Sabtu (19/7/2025).

Namun Istana tetap membela langkah ini. Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Presiden, menyatakan tidak ada pelanggaran konstitusi dalam penunjukan tersebut.

“Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear,” ujarnya, mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang tak mengikat secara larangan formal.

No One Can Serve Two Masters: Retaknya Janji Meritokrasi Prabowo-Gibran

Padahal, dalam dokumen visi-misi Asta Cita Prabowo-Gibran, ditegaskan tekad untuk membangun pemerintahan yang bersih, profesional, dan bebas intervensi politik. Salah satu poinnya adalah memperkuat manajemen BUMN dengan menjunjung tinggi integritas dan menjauhkan dari praktik politik praktis.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kontradiksi mencolok. Penunjukan 33 pejabat negara di kursi komisaris BUMN bukan hanya menjauh dari prinsip right man in the right place, tetapi juga bertentangan dengan semangat meritokrasi. Ketika jabatan strategis diberikan kepada figur yang tak punya kompetensi di bidang usaha BUMN tersebut, maka pengawasan hanya jadi simbolik.

Pepatah lama berbunyi “no one can serve two masters”. Wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris pada akhirnya menghadapi loyalitas yang terpecah dan beban kerja yang tidak realistis.

Jika praktik ini terus dibiarkan, maka bukan hanya kinerja BUMN yang terpuruk—melainkan juga kepercayaan publik terhadap komitmen reformasi birokrasi. Janji meritokrasi tak ubahnya jargon politik yang dikompromikan oleh kepentingan kekuasaan.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto