Pemerintah dan DPR kembali mempercepat pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tahun 2025. Langkah ini menuai reaksi keras dari kelompok masyarakat sipil, terutama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menyatakan bahwa substansi RKUHAP dalam bentuknya saat ini justru memperbesar potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Dalam catatan kritis ICJR tertanggal 28 Maret 2025, disebutkan bahwa RKUHAP bukanlah jawaban atas kebutuhan reformasi sistem peradilan pidana. Sebaliknya, rancangan ini dinilai sarat dengan pasal-pasal yang memperkuat posisi jaksa dan penyidik tanpa pengawasan efektif dari lembaga peradilan.
Salah satu poin utama yang dikritik adalah pemberian kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan tindakan pro justitia, seperti penyadapan, penggeledahan, penyitaan, bahkan penangkapan, tanpa memerlukan izin dari hakim.
“Hal ini tidak hanya menyalahi prinsip due process of law, tapi juga berpotensi menempatkan jaksa sebagai aktor dominan yang nyaris tak tersentuh,” tulis ICJR dalam dokumen tersebut.
RKUHAP juga memperkenalkan mekanisme baru yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Meski pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pengawasan atas tindakan penyidik dan jaksa, ICJR menilai kehadiran HPP justru menggerus fungsi utama lembaga praperadilan.
Proses HPP dinilai sebagai simulasi kontrol karena diajukan oleh aparat sendiri dan tidak bisa diakses oleh tersangka atau kuasa hukumnya secara independen.
Di sisi lain, RKUHAP memang mencantumkan beberapa kemajuan prosedural, seperti pengakuan atas sidang elektronik, hak atas penasihat hukum sejak awal, dan perekaman pemeriksaan.
Namun menurut ICJR, ketentuan-ketentuan tersebut masih lemah dalam implementasi. Kewajiban rekaman misalnya, tidak berlaku secara universal dan hanya terbatas pada kasus tertentu. Ini menciptakan celah bagi praktik penyiksaan, tekanan, dan pelanggaran hak selama proses penyidikan.
ICJR juga menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan RKUHAP. Draf yang dibahas tidak sepenuhnya terbuka dan tidak melibatkan kelompok masyarakat terdampak, termasuk organisasi advokasi hukum dan korban kriminalisasi.
“Jika pembahasan ini diteruskan secara terburu-buru, RKUHAP berpotensi menjadi dokumen legal yang justru merampas hak-hak dasar warga negara,” tegas ICJR.
Kekhawatiran terbesar adalah bahwa RKUHAP akan menjadi instrumen legal baru bagi negara untuk memperkuat dominasi aparat dalam proses hukum. Dalam sistem yang belum bebas dari kekerasan struktural dan impunitas, penguatan peran penegak hukum tanpa pengawasan berarti menempatkan warga sipil dalam posisi yang semakin rentan.
ICJR mendesak agar pemerintah dan DPR membuka ruang partisipasi publik yang bermakna serta menyusun ulang ketentuan-ketentuan yang mengancam prinsip demokrasi dan HAM.
“Ini bukan sekadar soal hukum acara. Ini soal bagaimana negara menempatkan kekuasaan di hadapan warganya,” pungkas ICJR.
Jaksa sebagai Episentrum Kekuasaan Prosedural
Salah satu isu paling krusial dalam RKUHAP 2025 adalah perubahan posisi jaksa dalam sistem peradilan pidana. Dalam rancangan tersebut, jaksa tidak lagi hanya bertindak sebagai penuntut di pengadilan, melainkan diberikan kewenangan prosedural yang sangat luas bahkan sejak tahap penyidikan.
Jaksa kini memiliki legitimasi untuk melakukan tindakan seperti penyitaan, penyadapan, penggeledahan, hingga penangkapan—tindakan-tindakan yang sebelumnya memerlukan izin atau supervisi dari pengadilan.
Menurut ICJR, pergeseran ini mengaburkan batas antara fungsi penyidikan dan penuntutan, dan mengarah pada pembentukan institusi superbody yang menggabungkan fungsi investigasi dan kontrol penuntutan dalam satu tangan.
“Ini berbahaya karena melemahkan prinsip check and balance antar-lembaga dan membuka potensi abuse of power yang sistemik,” tulis ICJR dalam catatannya.
ICJR menekankan bahwa dalam konteks sistem peradilan Indonesia yang belum sepenuhnya terbebas dari praktik penyiksaan, rekayasa kasus, dan kekerasan aparat, konsentrasi kekuasaan semacam itu merupakan ancaman serius.
“Ketika pengawasan yudisial dilemahkan, dan jaksa diberi kewenangan mutlak sejak penyidikan, maka siapa yang akan menjamin bahwa hukum tidak berubah menjadi alat represi negara terhadap rakyatnya?”
Dalam praktik di banyak negara demokratis, wewenang untuk melakukan tindakan paksa tetap berada di bawah kontrol pengadilan yang independen. Hal ini dilakukan demi menjaga hak-hak individu dan mencegah pelanggaran. Indonesia seharusnya tidak mundur dari prinsip tersebut.
Revisi RKUHAP seharusnya memperkuat prinsip akuntabilitas penegakan hukum, bukan malah menciptakan tumpuan kekuasaan baru yang tidak akuntabel.
Dalam posisi saat ini, ICJR menyatakan bahwa jaksa dalam RKUHAP bukan sekadar menjadi bagian dari proses hukum, melainkan telah menjadi episentrum kekuasaan prosedural yang berbahaya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















