Ilustrasi: Kupas RKUHAP: Pacu Aparat, Pincang Korban

Jakarta, Aktual.com – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menuai kritik tajam karena dinilai melemahkan berbagai mekanisme pengawasan dan perlindungan hak dalam penegakan hukum. Praperadilan, yang selama ini menjadi rem darurat untuk menilai legalitas upaya paksa, dipangkas ruang lingkup dan durasinya, sementara peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dihapus tanpa disertai alternatif kontrol independen.

Di sisi lain, izin penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan dialihkan dari hakim ke atasan penyidik atau prosedur administratif, sehingga mekanisme due process yang mengharuskan keterlibatan yudikatif semakin tergerus.

Lebih jauh, perluasan kewenangan aparat penegak hukum, mulai dari teknik pembelian terselubung hingga istilah “keadaan mendesak” yang tidak terdefinisi, membuka celah untuk praktik sewenang-wenang.

Syarat formal seperti dua alat bukti dijadikan patokan kuantitatif tanpa menimbang alasan yang cukup, sedangkan hak korban dan peran advokat hanya dicantumkan secara normatif.

Dalam praktiknya, advokat dibatasi menyampaikan catatan di luar persidangan, akses mereka terhadap alat bukti dikendalikan penuntut umum, dan forum pengaduan bagi korban yang mengalami penanganan tak beralasan tidak diatur operasionalnya.

Sementara itu, konsep restorative justice dan diversi dicampur sehingga wewenang penghentian perkara justru dipegang sepenuhnya oleh penyidik, tanpa akuntabilitas lembaga lain. Dengan kata lain, potensi pemerasan terhadap korban pun mengintai.

Ditambah lagi, standar pembuktian tidak menekankan relevansi bukti seperti di negara maju, dan prosedur penanganan bukti elektronik maupun perekaman pemeriksaan hanya bersifat opsional.

Kekhawatiran terbesar menyasar KPK, yang selama ini mengandalkan lex specialis untuk menindak korupsi. RKUHAP memaksanya mengikuti prosedur umum izin penyadapan dan penyitaan, sehingga efektivitas lembaga antikorupsi bisa terpangkas.

Para akademisi, masyarakat sipil, dan pakar hukum menegaskan bahwa tanpa revisi substansial, seperti mengembalikan praperadilan komprehensif, memperkuat peran hakim dan advokat, menjamin hak korban, serta memelihara keistimewaan KPK, RKUHAP berisiko menurunkan standar perlindungan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa RKUHAP tidak melemahkan KPK. “Saya tegaskan bahwa RKUHAP tidak berlaku untuk ketentuan yang sudah diatur khusus, termasuk UU KPK. Itu jelas di Pasal 3 ayat (2). Penyidik KPK tidak akan diintervensi oleh mekanisme umum, apalagi soal penyadapan, itu masih bisa menggunakan mekanisme di UU-nya sendiri,” ujar Habiburokhman, Rabu (23/7/2025).

“Kami di DPR justru ingin memperkuat kepastian hukum, supaya tidak ada tumpang tindih antar aturan. Kalau hari ini teman-teman masyarakat sipil merasa ada yang kurang, kita buka ruang dialog, termasuk lewat RDPU. Tapi jangan langsung framing DPR ingin melemahkan KPK,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto