Ilustrasi : SOROTAN: Ekspor Data, Impor Risiko

Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat bukan hanya soal tarif dan komoditas. Di balik angka-angka ekspor dan janji investasi, terdapat satu klausul yang memuat konsekuensi strategis jangka panjang: pengakuan Indonesia terhadap Amerika Serikat sebagai negara dengan standar perlindungan data pribadi yang memadai.

Keputusan ini membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan di AS untuk menerima, mengakses, dan memproses data pribadi warga Indonesia, tanpa lagi menghadapi hambatan regulasi berarti. Indonesia sendiri membangun gerbang data pribadi dengan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi.

Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan digitalnya. Data pribadi yang sebelumnya hanya bisa dipindahkan lintas batas dengan pengawasan ketat, kini dapat dialirkan ke Amerika Serikat atas dasar saling percaya, bukan audit transparan.

Padahal, data bukan sekadar informasi. Ia adalah cerminan identitas, perilaku, dan hak-hak sipil warga negara yang seharusnya dilindungi dengan mekanisme berlapis, bukan dinegosiasikan dalam paket dagang.

Dari perspektif keamanan digital, keputusan ini dinilai membuka celah risiko baru. Ketika data keluar dari yurisdiksi nasional, kendali dan pengawasan terhadap pemanfaatannya ikut melemah.

Belum lagi jika diingat bahwa infrastruktur perlindungan data di Indonesia masih dalam tahap pembangunan. Otoritas pengendali data yang dijanjikan dalam UU PDP bahkan belum terbentuk sepenuhnya.

Dari sisi ekonomi digital, kerja sama ini bisa mempercepat ekspansi perusahaan teknologi asing ke Indonesia. Namun alih-alih mendorong ekosistem lokal tumbuh sehat, risiko dominasi perusahaan teknologi besar dari Amerika bisa semakin nyata.

Ketimpangan antara kekuatan teknologi asing dan pelaku dalam negeri bisa melebar, terutama jika tidak disertai dengan proteksi dan insentif bagi pelaku lokal.

Sementara itu, dari sisi perlindungan konsumen, keputusan ini menunjukkan kontradiksi antara semangat UU PDP yang menjamin hak warga atas data pribadinya, dan praktik negosiasi dagang yang cenderung menjadikan data sebagai alat tukar.

Jika proses transfer data dilakukan tanpa persetujuan dan pemahaman publik, maka yang terjadi bukanlah penguatan hak digital, tetapi erosi bertahap atas kontrol warga terhadap informasi pribadinya.

“Bagaimana mungkin kita bicara tentang memanfaatkan peluang global, jika kunci pintu rumah digital kita justru kita serahkan kepada tamu yang belum pernah kita periksa latar belakangnya?”

Di tataran diplomasi, pengakuan terhadap AS sebagai negara dengan standar memadai dilakukan tanpa mekanisme evaluasi terbuka. Ini menimbulkan kesan bahwa keputusan lebih bersifat politis ketimbang legal.

Berbeda dengan pendekatan negara-negara seperti Uni Eropa yang menetapkan daftar negara dengan evaluasi ketat, Indonesia justru langsung menyetarakan Amerika tanpa proses uji tuntas. Ini menimbulkan preseden berbahaya bagi tata kelola data ke depan.

Redaksi memandang bahwa pembukaan arus data lintas negara bukan sesuatu yang harus dihindari. Namun, langkah ke arah itu mesti dilakukan secara hati-hati, bertahap, dan berbasis pada kepentingan nasional yang jelas.

Data bukan hanya sumber ekonomi digital, tetapi juga alat kekuasaan. Siapa yang mengendalikan data, pada akhirnya mengendalikan arah kebijakan, perilaku pasar, bahkan preferensi sosial.

Negosiasi dagang seharusnya tidak menjadikan hak atas privasi dan kedaulatan digital sebagai bagian dari konsesi yang bisa ditukar dengan tarif atau ekspor.

Pemerintah perlu segera memperkuat kerangka regulasi, membentuk otoritas perlindungan data yang independen, dan menyusun peta jalan kedaulatan digital yang tak hanya reaktif terhadap tekanan global, tetapi proaktif dalam melindungi hak rakyat.

Transfer data lintas negara bukan sekadar isu teknis. Ia adalah pertaruhan politik. Dan dalam pertaruhan ini, Indonesia harus memastikan bahwa warganya bukan sekadar objek dagang, melainkan subjek yang berdaulat di dunia digital yang terus berubah.

Kendati pihak Istana Kepresidenan menjelaskan bahwa kesepakatan ini adalah bagian dari strategi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama ekonomi digital Asia Tenggara. Namun pertanyaan besar muncul di tengah semangat optimisme tersebut: Bagaimana mungkin kita bicara tentang memanfaatkan peluang global, jika kunci pintu rumah digital kita justru kita serahkan kepada tamu yang belum pernah kita periksa latar belakangnya?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto