Ilustrasi: Jejak Hukum Wilmar Group dari Sawit Hingga Beras, dan Konflik Masyarakat Adat

PT Wilmar Group, salah satu perusahaan agribisnis besar baik skala nasional maupun internasional, dikenal bukan hanya karena dominasi pasarnya dalam industri minyak kelapa sawit (CPO), tetapi juga karena berbagai kontroversi hukum dan sosial yang mengiringinya.

Nama Wilmar kerap muncul dalam pemberitaan terkait dugaan pelanggaran hukum dan sosial, baik di Indonesia maupun di pasar internasional. Namun, terlepas dari isu tersebut, perusahaan ini terus tumbuh pesat dan menjadi salah satu kekuatan utama dalam sektor agribisnis global.

Pada 2021, Wilmar Group mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan berhasil memperoleh dana sebesar USD 77 juta. Beberapa waktu kemudian, pada 2022, perusahaan rumah sakit milik keluarga Martua Sitorus, yang juga merupakan bagian dari Wilmar, yakni Murni Sadar, memperoleh dana USD 21 juta melalui Initial Public Offering (IPO).

Keberhasilan ini menunjukkan kemampuan Wilmar untuk terus berkembang meskipun sering terlibat dalam berbagai sorotan hukum.

Salah satu kasus besar yang menyorot Wilmar adalah dugaan korupsi yang melibatkan ekspor CPO pada 2022. Ketika pemerintah Indonesia membatasi ekspor untuk menjaga pasokan minyak goreng domestik, Wilmar, bersama dua perusahaan besar lainnya, Musim Mas dan Permata Hijau, dituduh menggunakan praktik suap untuk memperoleh izin ekspor.

Kejaksaan Agung Indonesia menyita sebagai jaminan dana sebesar Rp 11,8 triliun dari Wilmar dan dua perusahaan lainnya sebagai bentuk pemulihan kerugian negara.

Maret 2025, pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan untuk membebaskan ketiga perusahaan tersebut dari segala tuntutan, meskipun keputusan tersebut menuai kritik keras dari berbagai pihak, yang menilai keputusan pengadilan sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.

Kejaksaan Agung pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan menahan beberapa pihak, termasuk tiga hakim yang menangani perkara ini, atas dugaan menerima suap.Tiga hakim yang memutus perkara Wilmar ditahan oleh Kejaksaan Agung karena diduga menerima suap senilai Rp 60 miliar.

Selain kasus korupsi, Wilmar juga terlibat dalam berbagai konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Salah satu yang paling disorot adalah masalah yang melibatkan PT Asiatic Persada, anak usaha Wilmar di Jambi, terkait perampasan lahan terhadap Suku Anak Dalam.

Perusahaan ini dilaporkan telah menggusur lahan adat tanpa persetujuan yang sah, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

Laporan dari organisasi lingkungan seperti Forest Peoples Programme mengungkapkan bahwa Wilmar dan anak usahanya telah melakukan penggusuran paksa, intimidasi dengan menggunakan kekuatan militer, dan merusak mata pencaharian masyarakat adat.

“Wilmar dan anak perusahaannya, PT Asiatic Persada, telah terlibat dalam perampasan lahan adat tanpa izin masyarakat adat, bertentangan dengan prinsip FPIC,” menurut laporan Forest Peoples Programme, November 2011, dikutip Aktual.com, Senin (28/2025).

Strategi Bisnis Wilmar

Di balik tantangan hukum dan sosial tersebut, Wilmar Group tetap menjadi salah satu pemain utama dalam sektor agribisnis berkat model bisnis terpadu yang meliputi seluruh rantai nilai komoditas pertanian.

Wilmar mengoperasikan kegiatan bisnis yang sangat beragam, mulai dari budidaya kelapa sawit, penghancuran biji minyak, penyulingan minyak nabati, penggilingan tepung dan beras, hingga pembuatan produk konsumen seperti makanan siap saji, lemak khusus, oleokimia, biodiesel, dan pupuk.

Grup ini juga mengoperasikan lebih dari 1.000 pabrik manufaktur dan memiliki jaringan distribusi yang luas yang mencakup Tiongkok, India, Indonesia, dan sekitar 50 negara lainnya.

Dengan skala, integrasi, dan keunggulan logistik dari model bisnisnya, Wilmar mampu mengekstraksi margin di setiap langkah rantai nilai, yang menghasilkan sinergi operasional dan efisiensi biaya.

Didukung oleh tenaga kerja multinasional sekitar 100.000 orang, Wilmar menerapkan keberlanjutan dalam operasi globalnya, rantai pasokan, dan komunitas di mana mereka beroperasi.

Walaupun sering terlibat dalam permasalahan sosial dan hukum, keberlanjutan tetap menjadi bagian integral dari strategi Wilmar, meskipun ada kritik terhadap implementasinya di lapangan.

Wilmar Group, salah satu perusahaan agribisnis terbesar di dunia, kini harus menghadapi sorotan tajam setelah terlibat dalam kasus penjualan beras oplosan. Kasus ini mengungkapkan bahwa produk beras yang dijual oleh anak perusahaan Wilmar, PT Wilmar Padi Indonesia, tidak sesuai standar kualitas, termasuk beras reject yang dicampur dengan jenis beras lainnya, yang menimbulkan kecemasan bagi konsumen.

Penemuan beras oplosan ini bermula pada awal 2025 ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap produk pangan yang beredar di pasar.

Setelah serangkaian uji kualitas, ditemukan bahwa produk beras kemasan Wilmar mengandung beras yang sudah ditolak (reject) yang tercampur dengan beras berkualitas rendah, yang berisiko merugikan konsumen dan membahayakan kesehatan.

Sejumlah produk beras yang dipasarkan, terbukti mengandung campuran beras kualitas rendah dan bahkan beras yang seharusnya dibuang karena rusak atau telah kedaluwarsa.

Kejadian ini memicu penarikan produk beras dari pasar dan memunculkan protes keras dari masyarakat yang merasa tertipu.

Merespons temuan itu, Wilmar Group mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan kesalahan yang terjadi dalam rantai pasokan mereka.

“Kami menyesalkan bahwa produk beras yang terkontaminasi tidak memenuhi standar kualitas kami. Kami akan meninjau dan memperketat prosedur pengawasan internal kami untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang,” demikian pernyataan resmi Wilmar yang dirilis pada 25 Juli 2025.

Perusahaan juga mengklaim bahwa produk yang tercemar tersebut merupakan hasil dari pihak ketiga yang menyuplai bahan baku, dan mereka berkomitmen untuk bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto