Di negeri agraris yang konon menjadi lumbung padi dunia, butir beras telah berubah dari simbol ketahanan pangan menjadi alat tawar politik paling primitif. Sejak era kolonial, Belanda lewat Politik Etis dan Departemen Pertanian menanam benih kontrol atas sawah, menjadikan beras instrumen pengendalian sosial.
Dikutip dalam jurnal Refi Refiyanto (2022) “Kini dan Dulu: Beras dalam Perkembangan Politik Ekonomi dan Refleksi Historiografi Indonesia”, pasca-kemerdekaan, ambisi industrialisasi off-farm memindahkan relasi petani–konsumen ke pabrik penggilingan beton, sementara cadangan beras pemerintah (CBP) dideklarasikan sebagai tameng harga.
Padahal, di balik gemerlap mesin dan gudang besar, petani tradisional tetap berkubang dalam janji swasembada yang retak sebelum panen tiba.
Kini, keserakahan berlapis terkuak dalam aksi Polda Riau yang menggulung gudang di Pekanbaru, menyita sembilan ton beras oplosan, yaitu campuran beras subsidi SPHP Bulog dengan mutu rendah yang sempat dilepas seharga premium.
Kejaksaan Agung turun tangan memanggil enam raksasa beras, termasuk PT Wilmar Padi Indonesia dan PT Food Station, atas dugaan pencampuran dan manipulasi harga, sebelum kasusnya dioper ke Satgas Pangan Polri atas arahan presiden.
Modus licik menggunakan karung resmi SPHP untuk membungkus oplosan memperlihatkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap Bulog sebagai penyangga ketahanan pangan.
Baca Juga: DPR Dukung Kasus Beras Oplosan Dibongkar Aparat
Rugi Rp. 100 T per Tahun
Sementara itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (16/7/2025), mengungkap bahwa praktik semacam ini memotong kantong rakyat. bahkan kerugian diperkirakan hingga Rp 100 triliun per tahun. Dampak lainnya adalah menunda kesejahteraan petani seiring merosotnya harga gabah.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengecam keras ‘kejahatan ganda’ ini. Ketua YLKI Niti Emiliana menuntut investigasi menyeluruh dari hulu hingga hilir, mulai verifikasi izin impor, uji laboratorium pre-market, hingga inspeksi rutin di titik ritel.
Menurutnya, pengoplosan beras SPHP bukan sekadar penipuan dagang, tetapi pelanggaran hak konsumen fundamental hak atas pangan bergizi dan sesuai standar, yang diatur Pasal 8 UU 8/1999 dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
YLKI siap mengawal kasus ini hingga tuntas, menegaskan bahwa tanpa transparansi dan penindakan tegas tanpa pandang bulu, rakyat kecil akan terus menjadi korban.
Baca Juga: Pemprov DKI Minta Kementan Transparan Soal Beras Oplosan
Beras Oplosan Ancam Kesehatan
Lebih jauh, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Prof. Sri Raharjo, dalam laman ugm.ac.id berjudul ‘Pakar UGM Ungkap Bahaya Beras Oplosan dari Perspektif Keamanan Pangan’, menyoroti bahaya kontaminasi kimia seperti hipoklorit, pewarna sintetis, hingga plastik, yang acap terlewatkan lantaran lemahnya pengawasan distribusi di produsen dan pasar tradisional.
Ia mendesak perbaikan sistem quality control hulu ke hilir serta edukasi konsumen tentang uji fisik sederhana, agar masyarakat menjadi mata dan telinga otoritas di lapangan.
Dari kolonialisme hingga korupsi subsidi modern, beras telah berulang kali dijadikan senjata politik dan ekonomi. Jika benar-benar ingin menjadikan beras sebagai jembatan kedaulatan dan keadilan sosial, reformasi distribusi, transparansi kebijakan, dan konsistensi penegakan hukum bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Tanpa itu (langkah tegas dan menyeluruh), konflik beras akan terus berulah, menunda mimpi Indonesia atas kemandirian pangan yang adil dan berkelanjutan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto
















