Ilustrasi: Belajar Bisnis ala Legislator di Kasus CSR BI

Program Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan rupanya tak hanya menyentuh masyarakat yang membutuhkan, tapi juga ‘menyentuh’ hati dan kantong anggota DPR. Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (Nasdem), dua anggota Komisi XI DPR RI, resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi sekaligus pencucian uang.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut penyidikan sejak Desember 2024 telah menemukan cukup bukti.

“HG menerima Rp15,86 miliar, ST menerima Rp12,52 miliar. Dana itu dipakai untuk kepentingan pribadi seperti rumah makan, outlet minuman, tanah, showroom, kendaraan, hingga deposito,” jelasnya di Gedung Merah Putih, Kamis (7/8/2025).

Dana yang sejatinya bertugas menggerakkan roda sosial di masyarakat, justru menggerakkan roda bisnis pribadi. Heri mengalirkannya lewat yayasan yang dikelola sendiri, sedangkan Satori menyimpannya rapi dalam investasi keluarga. Bahkan istri Satori, Rusmini, Kepala Desa Panongan, Cirebon, ikut dimintai keterangan. Nasibnya? tentu menunggu penyidikan penyidik antirasuah.

KPK sudah menggeledah Gedung BI, Kantor OJK, hingga rumah pribadi Heri. Sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik disita. KPK juga masih menelusuri proposal bantuan sosial yang diajukan kedua legislator ke mitra kerja DPR.

Meski nama Heri dan Satori sudah diumumkan, KPK belum membeberkan apakah ada anggota DPR lain yang ikut menyantap dana CSR. Publik pun menunggu, apakah daftar tersangka akan berkembang seperti menu restoran yang dibangun dari uang tersebut, atau tetap eksklusif layaknya showroom mobil baru.

Kasus ini sekali lagi menunjukkan bagaimana label ‘tanggung jawab sosial’ bisa dibengkokkan menjadi ‘tanggung jawab finansial’ bagi segelintir elite. Dana CSR yang seharusnya menjadi jembatan antara dunia usaha dan kebutuhan rakyat, berubah menjadi jalan tol menuju kepemilikan aset pribadi.

Kepentingan politik, akses pada sumber daya negara, dan lemahnya pengawasan memberi ruang subur bagi perilaku mahluk rakus seperti ini. Sementara masyarakat disuguhi narasi bahwa dana CSR adalah bentuk kepedulian negara terhadap kesejahteraan, kenyataannya kepedulian itu berhenti di pagar rumah makan, showroom, dan sertifikat tanah milik elite.

Dalam demokrasi, representasi rakyat bukan sekadar soal kursi di parlemen, tetapi soal amanah yang dijaga. Dan ketika amanah itu dijual murah demi cuan pribadi, yang rusak bukan hanya program sosial, tapi juga kepercayaan publik.

Kita mungkin tidak bisa mengembalikan miliaran rupiah yang sudah dipakai, tapi kita bisa memutus siklusnya, dengan mengingat, mencatat, dan menghukum lewat suara.

Tabik.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto