Ferry Yanto Hongkiwirang alias Ferry Boboho. Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Kabar penangkapan intel Densus yang mengiringi isu penggeledahan kediaman pribadi Jampidsus Febrie Adriansyah mengonfirmasi ada yang tidak beres pada internal Korps Adhyaksa. Kalau benar pengusaha Ferry Yanto Hongkiwirang alias Ferry Boboho merupakan makelar kasus kelas kakap di Gedung Bundar, sosok yang mampu menggerakan TNI untuk menghalau kerja intel polisi dalam mengungkap perkara, maka reshuffle bisa jadi solusi.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pergantian penuntut umum tertinggi tidak tabu kalau kinerja yang bersangkutan hanya memicu kegaduhan, dan memberi sinyalemen buruknya kinerja pemberantasan korupsi. Dia menganggap reshuffle Jaksa Agung menjadi penting.

“Malah bagus, penyegaran,” kata Fickar, di Jakarta, Sabtu (9/8).

Ferry Boboho disebut-sebut markus penanganan perkara di Gedung Bundar, Jampidsus. Sepak terjangnya tercium oleh Polda Metro Jaya yang menangkapnya pada Juli 2025 karena membuat gaduh di sebuah hotel mewah di Jakarta. Penangkapan Ferry disebut-sebut menjadi pintu masuk menggeledah kediaman Febrie yang batal karena dijaga ketat TNI.

Kendati begitu, Polda Metro Jaya tidak memberi informasi lengkap mengenai kasus Ferry. Belakangan Ferry malah diketahui bertemu seseorang di Hotel Borubudur, Jakarta. Ketika dibuntuti dia menggerakkan klik di militer yang langsung mengamankan Briptu FF. Diduga Briptu FF mengalami kekerasan sehingga melaporkan Ferry dan Kejati DKI telah menerima SPDP terkait insiden tersebut.

Fickar menegaskan bahwa reshuffle merupakan prerogatif presiden. Hak mutlak presiden ini layak diterapkan untuk membersihkan institusi hukum. Terlebih, dia menilai kinerja Kejagung sejauh ini, kendati dipersepsikan mampu mengungkap perkara-perkara besar, justru terkesan politis.

“Kejaksaan terjebak politis,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Erwin C Sihombing
Tino Oktaviano