Ketika Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo De Sousa Mota, memutuskan mundur, alasan yang disampaikan terdengar sederhana tapi memalukan, karena anggaran masih nol.
Bayangkan, sebuah perusahaan pelat merah yang digadang-gadang menopang visi besar Presiden Prabowo untuk swasembada pangan ternyata berjalan tanpa bensin. Mesin disiapkan, sopirnya ada. Parahnya lagi tangki kosong. Bagaimana mau melaju?
Joao tak hanya mundur, ia membawa serta permintaan maaf pada Presiden, petani, dan rakyat. Ironisnya, ia tidak minta maaf karena gagal bekerja, tapi karena tidak pernah diberi amunisi untuk berperang.
Di balik itu, ada nada getir tentang visi besar negara ini untuk kedaulatan pangan yang ternyata masih terjebak dalam ruang rapat stakeholder yang tidak punya sense of crisis.
Visi Prabowo tentang swasembada pangan sudah jelas, petani sejahtera dan negara mandiri. Tetapi, sebagaimana kisah klasik BUMN strategis di negeri ini, niat baik Presiden seringkali terjebak di meja birokrasi pembantunya.
BPI Danatara, badan investasi yang seharusnya menjadi pendorong, justru tampak seperti penonton di tribun dan menunggu laga usai baru berkomentar.
Dengan anggaran nol, sulit berharap Agrinas bisa melangkah. Lebih sulit lagi membayangkan bahwa masalah ini baru diungkap ketika pucuk pimpinannya sudah frustrasi.
Apakah tidak ada yang membaca tanda-tanda ini sebelumnya?
Atau memang ini strategi natural selection di dunia BUMN, siapa yang bertahan tanpa anggaran, dialah pemenang?
Kritik Joao sebetulnya bukan sekadar kepada Danatara, tapi kepada pola pikir birokrasi yang lebih senang menggelar seremoni daripada aksi.
Mereka yang duduk di kursi empuk stakeholder tampaknya lupa bahwa krisis pangan bukan wacana, melainkan ancaman nyata.
Danatara, lewat CEO Rosan Roeslani, tentu mengucapkan salam perpisahan yang manis. Proses transisi dijamin tertib, terukur, dan terencana, katanya. Kalimat ini terdengar seperti template yang dipakai setiap kali ada pergantian direksi mendadak, tak peduli penyebabnya.
Ironisnya, pengunduran diri Joao juga mengingatkan kita pada tren yang sudah terlalu sering terjadi di BUMN dan menjadi buah bibir beberapa waktu belakangan, yaitu pengangkatan pejabat yang jauh dari kompetensi bidangnya.
Alih-alih menempatkan orang yang paham pangan dan pertanian, yang datang justru figur-figur dengan latar belakang jauh dari sektor tersebut. Akibatnya, bukan cuma anggaran yang nol, tapi juga kepemimpinan yang kehilangan arah dan kemampuan untuk bergerak cepat.
Jika pejabat utama saja tak menguasai ladangnya, bagaimana mungkin visi besar swasembada pangan bisa terwujud?
Pola ini semakin mempertegas bahwa persoalan di BUMN bukan hanya soal dana, tapi juga soal tata kelola sumber daya manusia yang masih amburadul dan lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang profesionalisme.
Akhirnya, mundurnya Joao menjadi pengingat bahwa dalam republik ini, mimpi besar bisa kandas bukan karena lawan, tapi karena kawan sendiri lupa menyalakan mesin.
Swasembada pangan? Mari mulai dari swasembada logika.
Tabik
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















