Bupati Pati Sudewo rupanya punya resep unik dalam memimpin: jika rakyat marah, naikkan nada pidato konstitusional, bukan turunkan beban kebijakan. Ribuan warga yang berteriak di depan kantornya, Rabu (13/8), tak cukup membuatnya mempertimbangkan mundur, apalagi mencabut kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
Alasannya sederhana dan klise ia merasa hanya menjalankan aturan. Seolah peraturan soal pajak adalah kitab suci yang tak boleh disentuh, meski kondisi ekonomi warganya sedang megap-megap. Ini bukan sekadar soal angka 250 persen. Ini tentang bagaimana seorang pemimpin menutup mata terhadap realitas sosial.
Dengan kacamata kuda birokratis, Sudewo membaca aturan pajak hitam di atas putih, sambil lupa bahwa kepemimpinan sejati adalah seni menimbang beban rakyat, bukan sekadar mengutip produk peraturan yang transaksional.
Ironisnya, bahkan Sekjen DPP Partai Gerindra, partainya sendiri, ikut menegur. Pesan Sugiono jelas bahwa kebijakan kepala daerah tidak boleh menambah beban rakyat. Tapi rupanya, di telinga Bupati, pesan partai dan teriakan rakyat sama-sama terdengar seperti bisik angin di musim kemarau.
DPRD pun bergerak. Hak angket digelar, pansus dibentuk, 15 anggota dewan siap bekerja 60 hari untuk mengevaluasi kebijakan ini. Retorika ‘Pati milik bersama’ dan ‘pembangunan harus lancar’ yang diteriakan Sudewo ke arah demonstran, mungkin terdengar seperti pesan persatuan, tetapi ini lebih mirip kalimat penghiburan bagi mereka yang harus menjual hasil panen lebih banyak demi menutup pajak yang melambung.
Bupati bahkan mengaku kejadian ini menjadi ‘pembelajaran berharga’. Pembelajaran macam apa yang membutuhkan demonstrasi besar, bentrokan berdarah, dan teguran dari partai sendiri untuk bisa diserap?
Editorial ini tidak sekadar mengkritik satu kebijakan, tetapi juga pola pikir yang menempatkan legalitas di atas legitimasi sosial.
Memang, peraturan pajak memberi ruang untuk menaikkan tarif, tapi ruang itu bukan berarti harus diisi dengan angka yang mencekik. Kebijakan pajak yang melipatgandakan beban di tengah krisis sama saja seperti meminta orang berenang sambil menambah pemberat di kaki mereka.
Kalau Sudewo memilih tetap bertahan dengan tameng aturan, biarlah ia menikmati kursi empuknya. Kursi itu akan tetap hangat, bukan oleh rasa hormat rakyat, tapi oleh panasnya amarah yang terus menyala di luar sana.
Sementara Sudewo duduk manis, rakyat di depannya berteriak sampai serak, dan aparat yang digaji untuk melindungi masyarakat justru dipaksa jadi perisai demi melindungi satu orang.
Di Pati, ternyata bukan kursi bupati yang mahal, melainkan ongkos yang harus dibayar rakyat untuk mempertahankannya di sana: kemanusiaan.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















