Di negeri ini, rakyat kecil kerap berada di ujung tekanan ganda. Di satu sisi, pemerintah terus berburu pajak PBB, PPN, iuran BPJS yang akan naik bertahap, dan cukai rokok. Seakan semua celah harus digali demi menutup defisit anggaran. Di sisi lain, ketika kebutuhan mendesak muncul, rakyat yang tak punya tabungan atau akses kredit bank, terpaksa berutang lewat pinjol. Akhirnya, rumah tangga dipaksa menyeimbangkan diri di antara dua predator, negara dan fintech.
Masalah menjadi lebih parah karena daya simpan masyarakat yang rapuh. Survei Bank Indonesia per Juli 2025 menunjukkan rasio tabungan terhadap pendapatan tinggal 13,7%, level terendah sepanjang tahun, sementara konsumsi naik menjadi 75,4%, menyisakan ruang menabung yang makin menyempit .
Ilustrasi nyata, Pak Sardi, seorang petani, panen padi tipis, tabungan habis, dan menerima tagihan PBB-P2 sebesar Rp1,8 juta. Tanpa pilihan lain, ia meminjam Rp2 juta dari pinjol untuk menutup pajak dan kebutuhan mendesak.
Beberapa hari kemudian, utangnya membengkak karena bunga harian dan biaya administrasi tersembunyi. Debt collector mulai menelepon tanpa henti. Foto dan nomor telepon Pak Sardi disebar ke grup WhatsApp desa. Pajak yang ditarik negara dan utang digital yang menjerat bersatu menekan rakyat kecil.
Kisah serupa terjadi di kota. Seorang ibu rumah tangga meminjam Rp1,5 juta untuk biaya sekolah anak. Utang itu membengkak jadi Rp5 juta, disertai ancaman dan penyebaran foto pribadinya. Di Makassar, buruh mikro yang kehilangan pekerjaan terjerat tiga aplikasi pinjol sekaligus, nyaris bunuh diri karena teror telepon penagih .
Sementara itu, kenaikan PPN dari 11% ke 12%, iuran BPJS, dan cukai rokok semakin menekan pengeluaran rumah tangga, terutama kelas menengah bawah. Pajak yang seharusnya membiayai layanan publik justru terasa seperti pukulan tambahan bagi rakyat yang sudah dikejar utang digital.
Negara berburu pajak, rakyat diburu penagih utang. Dua sisi tekanan ini menyatu menjadi lingkaran setan. Rakyat kehilangan pekerjaan, tabungan terkuras, pajak menumpuk, utang membengkak, martabat terancam.
Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan soal konsumsi meningkat atau pajak terkumpul, tetapi ketika rakyat bisa menabung, terlindungi dari predator utang, dan pajak yang dibayar terasa adil. Jika tidak, kita hanya membangun pertumbuhan semu di atas pondasi rumah tangga yang keropos.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















