Jakarta, Aktual.com – Ribuan warga Pati, Jawa Tengah, melakukan aksi unjuk rasa terhadap Bupati Sudewo akibat kenaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen, 13 Agustus 2025. Aksi sempat diwarnai kericuhan, massa aksi melempari Bupati Sudewo, polisi, dan Satpol PP dengan batu, kursi, botol minuman, dan lainnya. Bupati Sudewo pun yang mencoba menenangkan pendemo terpaksa dievakuasi.
Tak sampai satu minggu, kericuhan juga terjadi di Bone Sulawesi Selatan. Masyarakat Bone menuntut Bupati Bone membatalkan rencana kenaikan tarif PBB P2 yang mencapai 300 persen, 19 Agustus 2025. Aksi yang berakhir ricuh dengan beberapa korban luka dari pendemo maupun pihak aparat keamanan ini berhasil menunda keputusan rencana kenaikan tarif PBB P2.
Pada tahun 2025, tak hanya di Pati dan Bone yang warganya bergejolak menentang kenaikan tarif PBB P2 secara drastis dan tiba-tiba. Sebut saja, Kota Cirebon yang menaikkan PBB P2 hingga 1.000 persen. Kebijakan ini akhirnya dicabut setelah viral di media massa dan media sosial.
Kenaikan tarif PBB P2 juga terjadi di Jeneponto Sulawesi Selatan sebesar 400 persen, Jombang Jawa Timur naik hingga 1.200 persen, dan Kabupaten Semarang Jawa Tengah mencapai 400 persen.
Baca Juga:
Menunggu Raya Yang Lain Saat Pemerintah Kalah Oleh Oligarki dan Serakahnomics
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, menyatakan sebanyak 104 daerah mengalami kenaikan PBB-P2. Dari 104 daerah itu, sebanyak 20 daerah di antaranya mengalami kenaikan PBB-P2 hingga di atas 100 persen.
“Ada 104 daerah yang memang mengalami kenaikan PBB-P2 ada 104. Nah, 20 daerahnya itu kenaikannya di atas 100 persen,” ucap Bima Arya di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2025).
Bima juga menyatakan tiga daerah dari 20 daerah baru menerapkan kenaikan PBB-P2 pada tahun ini. Sedangkan, sebanyak 17 daerah lain telah menaikan PBB-P2 hingga 100 persen sejak tahun sebelumnya.
Kenapa PBB-P2 Naik?
Salah satu faktor kenaikan PBB-P2 secara drastis dan tiba-tiba adalah akibat kebijakan Pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan yang menetapkan kebijakan baru terkait tarif maksimum PBB-P2 pada tahun 2025.
Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk menaikkan tarif PBB hingga maksimal 0,5 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Angka ini lebih tinggi dari tarif sebelumnya yang berada di kisaran 0,1 hingga 0,3 persen.
Baca Juga:
Raya Tidak Mati karena Cacing, tapi Karena Politik
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). UU ini memberikan ruang fiskal yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satunya melalui instrumen PBB-P2.
Kementerian Keuangan menilai dalam beberapa tahun terakhir NJOP di berbagai wilayah meningkat signifikan, namun kontribusi PBB terhadap PAD cenderung stagnan. Dengan kewenangan menetapkan tarif hingga 0,5 persen, pemda memiliki keinginan lebih besar untuk menyesuaikan besaran pajak dengan nilai pasar properti aktual di daerahnya.
Analis Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyu Askar mengamini sebab itu. Menurutnya, ada tekanan fiskal di daerah karena daerah tidak memiliki anggaran yang cukup. Pangkal masalahnya, kata Wahyu, pemangkasan anggaran transfer keuangan daerah (TKD) secara tiba-tiba oleh Pemerintah Pusat tanpa ada perencanaan, dan mitigasi yang kuat di pemda.
“Kita tahu 2025 ada efesiensi anggaran oleh Presiden Prabowo, dana transker ke daerah (TKD) dipangkas. Daerah panik dengan pemangkasan itu. Sementara, di daerah kan tidak banyak sumber pendapatan asli daerah (PAD),” papar Direktur Kebijakan CELIOS ini.
Diketahui, selain PBB-P2, di tingkat provinsi pajak yang dipungut melingkupi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Alat Berat, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
Baca Juga:
kenaikan PBB Tak Hanya Terjadi di Pati, Peringatan Keras bagi Pemerintahan Prabowo
Adapun di Kabupaten/Kota, pajak yang diambil meliputi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) meliputi pajak atas makanan/minuman, jasa perhotelan, hiburan, parkir, dll, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Ada juga penerapan Pajak Opsen (tambahan pajak) yang berlaku untuk kabupaten kota yang diberlakukan sesuai UU HKPD. Pajak Opsen ini meliputi penambahan Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB) dan Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB).
Ketidakadilan PBB-P2.
Wahyu menyampaikan, kondisi ekonomi yang masih lesu membuat sumber pendapatan dari pajak-pajak tersebut tidak signifikan yang akhirnya memutuskan pemda untuk menaikkan pajak PBB-P2.
“Kenapa PBB? Sebab, PBB bayarnya sekali setahun. Dianggap masyarakat tidak ada protes karena hanya sekali bayar per tahun, beda dengan pajak hiburan atau lainnya yang sifatnya ada yang harian atau bulanan,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, pemda memang dimungkinkan menaikkan PBB-P2 dengan berlakunya UU HKPD. Asumsinya, dengan kewenangan itu kab/kota dan provinsi bisa mengoptimalisasi pendapatan daerah.
“Mereka bisa meninjau NJOP, faktanya memang banyak NJOP yang sudah tidak relevan. NJOP dinaikkan otomatis kan PBB-P2 naik,” paparnya.
Hanya saja, kata Wahyu, kebijakan kenaikan PBB-P2 tidak bisa dilakukan tiba-tiba dan secara drastis. Mestinya, kalau mau menaikkan harus dilihat dulu posisi ekonomi masyarakat, atau kenaikkannya dilakukan bertahap. “Begini efeknya kalau dinaikkan tiba-tiba, protes dari masyarakat,” ucapnya.
Baca Juga:
Dorong Ekonomi 2026, Sri Mulyani: Butuh Investasi Baru Minimal Rp7.500 Triliun
Selain itu, meski pemda memiliki kewenangan semestinya pemda lebih arif, melakukan perencanaan kebijakan yang komprehensif. “Ini soal keadilan. Karena, PBB itu kan sifatnya orang miskin yang tinggal di kota bisa saja NJOP-nya naik sehingga bayar lebih mahal, dan mereka akan tertekan. Tapi orang kaya yang beli rumah di pinggir kota mereka bisa saja membayar PBB lebih rendah,” ungkap Wahyu.
Wahyu pun mengakui ada ketidakadilan dalam penerapan PBB-P2. Di mana, PBB-P2 berlaku untuk setiap orang tanpa memperdulikan kemampuan ekonominya. “PBB-P2 kan berdasarkan lokasi tanahnya, bukan berdasarkan pendapatan seseorang. Di negara lain penerapan NJOP tidak seperti di kita, mereka yang miskin meskipun punya tanah dan bangunan di kota tidak dikenai PBB,” katanya.
Karena itu, Wahyu mengusulkan, dalam konteks PBB-P2 sebaiknya masyarakat yang miskin yang pendapatannya tidak cukup kuat tidak harus bayar pajak. “Tapi kalau dia kaya ya harus bayar dong,” tegas Wahyu
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















