Jakarta, Aktual.com – Masyarakat Bone, Sulawesi Selatan melakukan demonstrasi, Selasa (19/8/2025) menentang kenaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dikeluarkan Bupati Bone Andi Asman Sulaiman. Aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh dengan beberapa orang terluka ini pun akhirnya menunda kenaikan tarif PBB-P2 di Bone hingga 300 persen.
Satu minggu sebelumnya, akti protes juga terjadi di Pati, Jawa Tengah, menolak hal sama. Protes juga terjadi di beberapa kabupaten/kota yang mengalami kenaikan PBB-P2, seperti Kota Cirebon Jawa Barat, Jombang Jawa Timur, Jenenponto Sulawesi Selatan, dan Semarang Jawa Tengah.
Maraknya protes keras dari masyarakat ini, menurut Anggota Komisi II DPR RI Mohamad Toha merupakan hal wajar, mengingat kenaikan tarif PBB-P2 yang tinggi akan membebani mereka. Menurut Toha, semestinya kepala daerah berpikir kreatif untuk mencari sumber pendapatan asli daerah (PAD) tidak hanya dengan menaikkan tarif PBB-P2 yang memberatkan masyarakat.
“Dengan dana TKD dari Pusat yang turun, kepala daerah harus kreatif untuk meningkatkan PAD. Pada prinsipnya, sebagai kepala daerah jangan sampai memberatkan masyarakat yang dipimpinnya. Keterbatasan anggaran dari Pusat tidak boleh menjadi alasan bagi kepala daerah membebani masyarakat dengan kenaikan pajak,” kata Toha.
Baca Juga:
Negara Berburu Pajak, rakyat Diburu Penagih Utang
Anggota Fraksi PKB ini menyampaikan, kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Kepala daerah juga tidak bisa mengandalkan pendapatan dari sektor pajak yang membebani masyarakat.
Menurutnya, banyak alternatif yang bisa dilakukan kepala daerah untuk mendatangkan PAD. Misalnya, dengan menciptakan iklim investasi yang sehat di daerahnya agar investor tertarik untuk berinvestasi.
“Kepala daerah bisa menyederhanakan perizinan, atau memberikan intensif agar menarik investor. Kepala daerah juga bisa membuka peluang wirausaha bagi masyarakatnya, menciptakan ekosistem usaha yang sehat sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang efeknya bisa meningkatkan PAD,” papar mantan Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah ini.
Toha menyampaikan, memang tidak semua daerah memiliki potensi sumber daya alam yang kaya, seperi tambang, sebagai sumber PAD. Menurutnya, daerah yang tidak punya potensi SDA itu mestinya bisa menumbuhkan sektor ekonomi kreatif, pariwisata, dan perdagangan sebagai sumber PAD.
“Ada banyak potensi di daerah selain tambang. Daerah bisa kembangkan perdagangan di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dan kelautan hingga menjadi produk ekspor. Ada juga sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang juga bisa menjadi sumber PAD,” papar Toha.
Baca Juga:
Pajak Pejabat dan ASN Ditanggung Pemerintah, Mestinya Pelayanan Publik Lebih Baik
Menurut Toha, berkurangnya dana TKD dari Pusat memang bisa mengurangi kualitas layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastuktur jalan di daerah. Karena itu, kepala daerah harus bekerja keras bagaimana agar layanan publik tersebut tidak terpengaruh dengan berkurangnya dana TKD.
“Selama ini memang Kepala Daerah selalu mengandalkan anggaran dari Pusat, sehingga ketika TKD berkurang karena efesiensi dan dialihkan ke program prioritas pemerintah pusat, daerah kelabakan. Dibutuhkan kemampuan, leadership, dan political will yang kuat dari kepala daerah untuk mencari sumber pendapatan di luar TKD yang tidak membebankan masyarakat,” ujar Toha.
Adapun Anggota DPD RI Dedi Iskandar Batubara menyampaikan kenaikan PBB-P2 di beberapa daerah terjadi karena rendahnya dana TKD dari Pemerintah Pusat. Padahal, selama ini kepala daerah mengandalkan TKD sebagai PAD daerahnya.
Dengan TKD yang rendah, ucap Dedi, dapat menyebabkan perlambatan pembangunan di daerah. Karena, TKD digunakan pemda untuk membiayai urusan yang menjadi kewenangan daerah.
”Inilah yang harus jadi atensi Pemerintah Pusat agar TKD dapat dikembalikan ke posisi ideal. Sebagian besar daerah bergantung pada dana TKD untuk biayai pembangunan, dan program yang berkaitan dengan layanan publik di daerah. Pemerintah Pusat harus membantu rakyat dan pemerintah di daerah agar gejolak sosial tidak muncul sebagaimana kasus di Pati,” kata Dedi.
“RAPBN 2026 sudah diserahkan ke DPR RI, dan DPD RI juga akan segera berikan pertimbangan ke DPR RI terkait RAPBN 2026. DPD RI prinsipnya bagaimana hak daerah dikembalikan. Hak-hak yang ideal bagi daerah untuk kelangsungan program di daerah,” ujar Senator dari Provinsi Sumatera Utara ini.
Baca Juga:
Menunggu Raya Yang Lain Saat Pemerintah Kalah Oleh Oligarki dan Serakahnomics
Dedi menyampaikan, kreativitas daerah merupakan bagian dari inovasi pemerintah daerah untuk mencari PAD yang tidak semata bersumber dari TKD. Namun, karena sebagian besar kewenangan daerah saat ini sudah ditarik ke pusat, mau tidak mau pemerintah pusat harus membagi hasil secara berkeadilan ke daerah untuk menghindari pelambatan ekonomi dan PHK.
“Saya kira disinilah peran negara hadir, kepala daerah yang potensi ekonomi terbatas, harus diberikan pendampingan yang maksimal untuk tata kelola keuangannya,” ucap Dedi.
Dedi pun meminta Pemerintah Pusat untuk mengembalikan otonomi daerah, termasuk kewenangan daerah mengelola SDA dan potensi ekonomi lainnya.
“Regulasi yang sentralistik dikembalikan ke regulasi yang desentralitatif agar peran daerah lebih kuat,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















