Dulu Nafa Urbach dikenal sebagai penyanyi lagu melankolis. Kini, di Senayan, ia menyanyi nada baru, soal tunjangan rumah Rp50 juta. Bedanya, panggung kali ini tidak ada lampu dan kamera sorot. Tapi ada rakyat yang menatap dengan perut kosong dan kehidupan jauh dari kata layak.
Nafa, selebritas yang kini menjadi anggota DPR, mengaku bahwa tunjangan rumah untuk (katanya) wakil rakyat sebesar Rp 50 juta itu wajar. Alasannya, harga rumah di Jakarta mahal.
Tentu saja, mahal bagi standar orang yang terbiasa bicara di Senayan, bukan di Sukabumi, tempat seorang balita bernama Raya harus meregang nyawa dengan perut dipenuhi cacing gelang.
Adies Kadir, kolega Nafa, bahkan lebih lantang. Ia mengeluh tunjangan perumahan anggota DPR terlalu kecil. Dengan nada seolah korban, ia menyebut Rp50 juta tidak sebanding dengan harga rumah di ibu kota.
Mungkin benar, bagi mereka yang menganggap normal menyewa rumah dengan harga setara seribu kali lipat gaji buruh tani. Bagi rakyat yang hidup dengan Rp2 juta per bulan, angka Rp50 juta itu bahkan tak masuk akal untuk dibayangkan.
Sementara itu, rumah Raya di Sukabumi bahkan tidak punya lantai keramik untuk dipijak. Tanah menjadi alas tidur, sekaligus sarang cacing yang akhirnya menggerogoti tubuh mungilnya.
Tidak ada kamar tidur nyaman, apalagi asisten rumah tangga. Tidak ada air panas mengalir, hanya air sumur keruh yang jadi sumber kehidupan. Rumah itu bukan sekadar tidak layak huni. Tapi rumah itu berbicara bahwa ini adalah simbol telanjang dari ketidakadilan.
Pajak yang dikumpulkan dengan disiplin dari jutaan kantong tipis, ternyata lebih cepat berubah jadi tunjangan perumahan anggota dewan ketimbang sanitasi desa atau pelayanan dasar yang menjadi hak rakyat dan kelompok rentan. Raya mati dalam rumah tanah, sementara pejabat sibuk menawar harga sewa rumah di kawasan elite.
Nafa dan Adies mungkin tidak sadar bahwa pernyataan mereka terdengar seperti satire murahan. Selebritas yang kini menikmati kursi empuk, dan politisi senior yang sudah kenyang fasilitas negara, sama-sama bicara tentang arti kesulitan versi mereka yang hidup dari mengemis suara rakyat. Di sisi lain, orang tua Raya bahkan tak bisa memastikan anaknya makan tiga kali sehari.
Raya tidak mati karena cacing. Ia mati karena republik ini lebih sibuk mengurus kenyamanan wakil rakyat ketimbang kesehatan rakyat yang diwakilinya.
Belakangan, Nafa Urbach meminta maaf atas ucapannya. Publik pun menilai penyesalan itu sudah terlambat. ‘Nyanyian’ Nafa soal tunjangan rumah kali ini tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorakan fans, hanya rakyat yang mendengar dengan perut kosong dan kemarahan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















