Senin, 25 Agustus 2025, rakyat berteriak di depan gedung DPR. Mereka menolak kenaikan gaji wakil rakyat yang makin gemuk, sementara perut sendiri makin kempis. Suaranya riuh, hingga malam menjelma ricuh. Polisi turun tangan, ratusan pendemo diamankan, termasuk 205 pelajar yang barangkali baru belajar bahwa di negeri ini, ‘ekstra kurikuler’ paling nyata adalah turun ke jalan.

Namun, pada jam yang sama, di tempat tak jauh dari Senayan, suasana justru khidmat dan megah. Di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto menyematkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera kepada 141 tokoh bangsa.

Di antara mereka ada seniman, atlet, dan budayawan. Hormat untuk para tokoh yang memang patut dikenang. Tapi, satu nama terselip, Burhanuddin Abdullah, mantan terpidana korupsi, tiba-tiba ikut bersinar di panggung penghormatan.

Pemerintah berdalih, kemarin, bahwa mereka belum mengetahui teriakan rakyatnya di jalanan. “Kami lagi konsentrasi memberikan penghormatan kepada beliau-beliau yang berjasa bagi bangsa,” kata Mensesneg Prasetyo Hadi.

Rupanya di negeri ini, jeritan rakyat di jalan bisa kalah oleh gemuruh tepuk tangan di ruang ber-AC.

Maka lengkaplah kontras yang ironis. Di luar, mahasiswa dan pelajar ditangkap dan dihukum karena dianggap merusak ketertiban. Di dalam, seorang mantan napi korupsi dihormati karena dianggap menjaga stabilitas.

Barangkali inilah yang dimaksud dengan pendidikan karakter bangsa. anak sekolah diajari disiplin lewat pentungan, sementara orang dewasa diajari keteladanan lewat bintang di dada.

Editorial ini tidak bermaksud meremehkan jasa legenda olahraga atau seniman besar negeri. Justru penghargaan mereka menjadi ternodai ketika disandingkan dengan figur yang rekam jejaknya abu-abu.

Jika penghargaan tertinggi negara bisa diberikan kepada siapa saja, bahkan yang pernah merampas kepercayaan publik, maka apa bedanya medali emas Olimpiade dengan sekadar piagam tanda tangan lurah?

Pada akhirnya, rakyat boleh dipukul, ditangkap, bahkan dituduh anarkis. Tapi jangan salahkan bila mereka bertanya, siapa yang sebenarnya lebih merusak negeri ini, anak SMA yang berteriak di Senayan, atau pejabat yang dulu pernah tersandung korupsi lalu kini disanjung dengan Bintang Mahaputera?

Di negeri tanda jasa ini, rasa malu tampaknya sudah lama dicabut dari daftar penghargaan.

Tabik.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto