Jakarta, Aktual.com – Pengamanan aksi demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/8), yang berakhir ricuh disayangkan banyak pihak. Aparat kepolisian kembali menampilkan wajah kekerasan dalam menjalankan peran dan fungsinya, ketimbang wajah pengayom dan pelindung masyarakat. Puncaknya, terjadi tragedi memilukan ketika kendaraan taktis Brimob melindas seorang peserta aksi pengemudi ojol hingga tewas.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Serara Institute Ikhsan Yosarie menilai peristiwa tersebut bukan hanya bentuk pelanggaran prosedur keamanan, tetapi juga mencerminkan penggunaan kekuatan yang eksesif yang tidak bertujuan untuk melindungi warga negara. Terlebih muncul laporan terjadinya pemukulan, penganiayaan, penembakan gas air mata secara sembarangan, hingga penangkapan sewenang-wenang.

“Dalam konteks penggunaan gas air mata untuk pengendalian massa memperlihatkan ketiadaan pembelajaran dari tragedi Kanjuruhan tahun 2022 lalu. Hal ini menunjukkan minimnya implementasi konsep Presisi Polri di lapangan, terutama oleh anggota-anggota,” kata Ikhsan, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (29/8).

Dirinta mengingatkan bahwa Pasal 28E UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum kemudian juga menegaskan bahwa unjuk rasa sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum.

“Dengan demikian, demonstrasi merupakan ruang sah bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Bahkan Pasal 13 ayat (2) UU No. 9/1998 mengamanatkan Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum,” tuturnya.

Dikatakan, ketika menangani demonstrasi rakyat yang marah terhadap elite politik di DPR yang bebal terhadap aspirasi dan denyut nadi rakyat, polisi harus memastikan jaminan hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi, serta melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP) yang menjamin Hak Asasi Manusia.

“Tindakan kekerasan aparat dalam penanganan demonstrasi bukanlah insiden sporadis dan isolated (berdiri sendiri), melainkan masalah struktural dan kultural dalam tubuh Polri. Pola ini lahir dari kultur kekerasan, impunitas, dan kegagalan reformasi kepolisian yang seharusnya menegakkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya.

Menurutnya, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri hanya menjadi dokumen normatif di internal Polri. Peraturan internal yang sejatinya menjadi panduan etis-operasional justru dikhianati oleh praktik lapangan yang penuh kekerasan. Kondisi ini memperlihatkan kegagalan pelaksanaan kebijakan.

“Aturan ada, tetapi tidak dilaksanakan,” keluhnya. (Erwin)

Artikel ini ditulis oleh:

Erwin C Sihombing
Eka Permadhi