Di tengah upaya penanganan, mengemuka dugaan bahwa kerusuhan ini ‘ditunggangi’ oleh kekuatan tersembunyi. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Soleman B. Ponto secara blak-blakan menyatakan rangkaian demonstrasi brutal akhir Agustus sudah pasti ditunggangi.

Aksi yang berlangsung serentak dan menyerang kantor polisi, gedung DPR/DPRD hingga rumah pejabat menurutnya mustahil terjadi spontan tanpa provokasi terencana.

“Memanfaatkan situasi itu bukan hal yang luar biasa, itu biasa. Justru menjadi luar biasa kalau tidak ada yang bermain,” kata Ponto.

Meski demikian, ia mengingatkan akar masalahnya tetap pada krisis kepercayaan publik terhadap DPR dan Polri. Ponto menilai kemarahan rakyat dipicu kesenjangan kebijakan.

“Sekian tahun kita lihat Polri membuat undang-undang memperkuat diri, sementara DPR memperkaya diri. Rakyat malah tercekik. DPR harusnya memperjuangkan rakyat, malah joget-joget,” tuturnya miris.

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto

Kematian Affan menjadi pemicu yang mengakumulasi energi protes berbagai elemen masyarakat.

“(Kericuhan) itulah energi yang terakumulasi. Begitu ada pemicu lantas meluas,” ujarnya

Artinya, gerakan ini berangkat dari kekecewaan nyata, namun diakui atau tidak, ada penumpang gelap yang ikut bermain di tengah kekisruhan tersebut.

Indikasi keterlibatan aktor-aktor terselubung juga disoroti oleh analis lain. Wawan Purwanto menyebut arah kerusuhan sudah melampaui protes spontan, ada pihak yang sengaja membuat situasi tambah ramai dan ruwet dengan tujuan tertentu.

“Belakangan memang ada yang ikut bergerak untuk membuat situasi tambah ramai. Siapa mereka nanti juga akan ketahuan, yang jelas pergerakan seperti itu butuh logistik,” kata Wawan, seraya mengingatkan publik jangan mau diadu domba oleh kemungkinan skenario asing

Peringatan serupa sebelumnya dilontarkan mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono, yang menurut Wawan sudah mewanti-wanti adanya sinyalemen pihak asing terlibat dalam kerusuhan

Kecurigaan terhadap ‘invisible hand’ asing ini mengemuka karena pola kerusuhan dinilai terorganisir dan menyasar simbol negara. Presiden Prabowo sendiri mengaku mendapat laporan adanya upaya sistematis merusak simbol negara melalui infiltrasi anasir perusuh.

Ia mencontohkan banyaknya penyusup membawa bahan peledak dan molotov. “Di banyak tempat datang truk-truk berisi petasan besar. Ini sudah bukan demonstrasi, tapi perusuh,” tegas Prabowo, Senin (1/9/2025).

Presiden menegaskan bahwa gerakan yang merusak dan menyabot kepentingan rakyat jelas bukan aspirasi rakyat, tapi upaya merusak agenda bangsa. Pernyataan ini mengisyaratkan keyakinan pemerintah bahwa ada agenda terselubung di balik aksi anarkis tersebut, di luar tuntutan sah masyarakat.

Isu intervensi asing pun mencuat dalam narasi berbagai media. Laporan media Rusia Sputnik secara eksplisit menuding miliarder George Soros berada di balik kerusuhan demonstrasi di Indonesia akhir Agustus

Laporan ini, yang mengutip analis geopolitik Angelo Giuliano dan Jeff J. Brown, mengaitkan gejolak di Indonesia dengan pola revolusi berwarna yang pernah terjadi di negara lain. Giuliano mencurigai kemunculan simbol bendera bajak laut “One Piece” di tengah aksi sebagai tanda keberadaan agenda eksternal

Dalam anime One Piece, bendera hitam tengkorak jerami melambangkan perlawanan terhadap tirani, simbol yang sejak Juli 2025 mulai muncul di berbagai demonstrasi di Indonesia. Giuliano menduga setidaknya dua aktor asing berperan.

Pertama, National Endowment for Democracy (NED) yang disebutnya telah mendanai sejumlah media Indonesia sejak 1990-an; kedua, Open Society Foundations milik Soros, yang aktif menggelontorkan dana miliaran dolar ke kelompok sipil.

Jika keterlibatan ini benar, kata Giuliano, tentu ada agenda tersembunyi bernuansa geopolitik. “Selain itu, ini terkait dengan fokus Indo-Pasifik baru-baru ini… mengisyaratkan motif geopolitik,” ujarnya, merujuk pada ketegangan kawasan yang meningkat belakangan

Pengamat Jeff J. Brown, penulis The China Trilogy, bahkan secara lugas menyamakan krisis Indonesia 2025 dengan skenario Serbia. “Ini persis seperti yang terjadi di Serbia. G7 menginginkan diktator lain yang didukung Amerika Serikat, seperti Soeharto di masa lalu,” imbuh Brown dalam wawancara dengan Sputnik.

Ia menilai Prabowo Subianto tidak sejalan dengan agenda Barat karena mendekat ke Tiongkok, Rusia, SCO, dan terutama membawa Indonesia bergabung dengan BRICS

Dengan ekonomi Indonesia terbesar ke-8 dunia (PPP) dan populasi nyaris 300 juta jiwa, Brown menyebut Indonesia sebagai target yang sangat layak untuk diserang dengan revolusi warna yang direkayasa Barat.

Tuduhan ini, meski kontroversial, mengingatkan pada jejak panjang keterlibatan asing dalam politik Indonesia. Sejak era Perang Dingin 1970-an, bayang-bayang invisible hand asing kerap muncul di balik gejolak domestik.

Mulai dari dukungan Barat terhadap rezim otoriter Orde Baru, krisis moneter 1997 yang diwarnai spekulasi asing, hingga pendanaan sejumlah lembaga. Kini, di era rivalitas baru Timur-Barat, isu intervensi eksternal kembali menghantui, seolah mengulang pola lama dalam kemasan baru.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto