Ilustrasi : Pengusutan Korporasi di Skandal Timah Rp300 T, Apa Kabar?

Jakarta, aktual.com – Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan lima korporasi menjadi tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian uang tata niaga timah. Konferensi pers yang digelar pada awal Januari 2025 turut dihadiri Menko Polkam Budi Gunawan. Sudah tujuh bulan sejak konferensi pers, penanganan perkara korporasi timah tak mengalami progres berarti.

Kelima tersangka korporasi tersebut yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP). Kejagung menjerat kelimanya untuk memulihkan kerusakan lingkungan Rp271 triliun akibat aktivitas kelima korporasi pada wilayah tambang PT Timah periode 2015-2022.

Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna mengaku belum memiliki informasi lengkap mengenai progres penanganan perkara. “Saya belum bertemu dengan tim nya,” kata Anang, belum lama ini.

Baca Juga:

8 Jurnal Marcella Santoso Ungkap Borok Peradilan dan Mafia Tambang

Namun begitu dia menepis kalau penanganan perkara dianggap lamban. “Ini teknis dan strategi penyidikan saja,” ujarnya.

“Di pidsus kan banyak perkara, dan ada skala prioritas. Bukan tidak mungkin mereka juga masih memonitor penanganan perkara terdakwa yang belum inkrah,” lanjut Anang.

Salah seorang sumber yang mengetahui penanganan perkara ini mengaku belum ada pemanggilan terhadap jajaran petinggi korporasi untuk diperiksa. “Kasus ini kan sudah berjalan di sidang, saksi-saksinya sama. Kami juga heran, kenapa belum diperiksa,” keluhnya.

Sumber itu membantah ketika disinggung korporasi timah nantinya menjadi bancakan pihak-pihak yang ingin menguasai perusahaan dan beroperasi pada wilayah tambang timah. “Ah, tidak sejauh itu. Tapi kami juga ingin agar kasus ini cepat selesai,” tuturnya.

Baca Juga:

Di balik Kerusuhan Agustus 2025: Prabowo Dikepung Para Mafia-Konglo

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai seharusnya tidak ada kendala bagi penyidik dalam menangani perkara tersebut. “Tidak ada alasan untuk tidak memproses korporasinya jika sudah ada minimal dua alat bukti,” kata Fickar.

“Meski demikian yang akan mewakili korporasinya tetap dirutnya, tetapi penuntutan pidana dibebankan kepada tindakan korporasinya,” sambungnya.

Menurutnya, penyidikan korupsi korporasi tak butuh waktu lama, karena semua saksi-saksi sudah dihadirkan dalam perkara perorangan, termasuk Harvey Moeis. Artinya, penanganan perkara korporasi seharusnya tak terkatung-katung.

Fickar berharap Kejagung bersikap terbuka dengan menyampaikan perkembangan penanganan perkara. Transparansi penting untuk memastikan profesionalitas jaksa termasuk menepis asumsi liar seperti terjadinya modus bancakan perkara.

“Harus diberitakan terus agar publik terinformasi,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Erwin C Sihombing
Eka Permadhi