Suasana aksi 28 Agustus 2025 di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (28/8/2025). Aktual/HO

Jakarta, Aktual.com – Pasca meredanya aksi demontrasi yang berujung kerusuhan massa, muncul beragam analisa terkait siapa aktor dan motif di balik kejadian yang menimbulkan 10 korban jiwa di berbagai daerah tersebut.

Salah satu dugaan mengarah pada keterlibatan asing. Bahkan, media asal Rusia, Sputnik, secara eksplisit menuding miliarder George Soros berada di balik kerusuhan di berbagai kota besar di Indonesia pada 25 Agustus-2 September 2025 itu.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Teuku Rezasyah, menyampaikan, tudingan dari Sputnik itu, yang mengutip analisa dari pengamat geopolitik Angelo Giuliano dan Jeff J. Brown, bisa menjadi informasi awal bagi pemerintah, terutama Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menginvestigasi lebih lanjut kerusuhan massa tersebut.

“Iinformasi Sputnik itu kualitasnya informasi intelijen. Pemerintah, terutama intelijen kita bisa menindaklanjutinya dengan menghubungi redaksi Sputnik untuk minta bukti-bukti. Intelijen kita tentu punya sumber informasi lainnya yang bisa disandingkan apakah betul Soros di balik semua peristiwa akhir Agustus kemarin,” papar guru besar hubungan internasional ini.

Baca juga:

Mahasiswa Desak Tim Investigasi Dugaan Makar, Hendrawan: Kerusuhan Lebih Parah dari 1998

Rezasyah menyampaikan, bukan tidak mungkin Soros merupakan aktor di belakang layar dari aksi massa yang awalnya hanya bentuk kekecewaan terhadap kebijakan Pemerintah dan DPR.

“Soros kan terbukti sering ikut campur di mana-mana, pengaruhnya memang kuat di negara-negara yang lain juga. Terbukti dari 1998, banyak data mengatakan itu karena Soros. Malaysia juga sampai sekarang masih menuduh Soros di balik aksi kolapsnya keuangan negara-negara ASEAN pada 1997-1998,” papar Rezasyah.

Menurutnya, menjadi tugas dari BIN untuk mencari aktor kaki tangan Soros di Indonesia. Terlebih, Intelijen, katanya, bisa sangat mudah melacaknya dari data transaksi keuangan yang janggal pada sebelum dan saat kerusuhan terjadi.

“Aliran dana dari Soros ke kaki-kaki tangannya kan dilacak dengan mudah. Kalau Pemerintah, intelijen dan PPATK kita bagus kinerjanya, pergerakan uang dalam jumlah besar dan tidak biasa itu dengan mudah bisa dilacak,” paparnya.

Apalagi, aktor yang menjadi kaki tangan Soros ini sudah bisa ditelusuri. Mereka biasanya, berasal dari non-state. “Bisa NGO, individu, lembaga keuangan, orang-orang dia yang sudah ditanam di sini, rekening bodong, bisa juga media sosial seperti tiktok, itu bisa dan mudah dicari,” ungkapnya.

Baca juga:

Bongkar Dalang Aksi Agustus Berdarah, SETARA Intitut Desak Prabowo Bentuk TGPF

Adapun, pengamat geopolitik Harry Samputra Agus, menyebut, kepentingan asing dalam wujud multinasional company (MNC) selalu mengintervensi arah kebijakan suatu negara agar menuruti apa yang mereka kehendaki.

“Mereka ini sudah lama bercokol di Indonesia, kita sebut saja mafia barkeley, yang jadi kaki tangan asing dalam menghancurkan finansial Indonesia pada 1998 sehingga terjadi krisis moneter,” paparnya.

Hal sama dilakukan kelompok yang disebutnya sebagai neokolonialisme (nekolim) gaya baru ini pada 1 dekade terakhir. Mereka, katanya, melakukan cipta kondisi finansial agar pada 2025 terjadi krisis yang sama seperti 1998.

“Banyak utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun ini dan dua tahun mendatang. Ini yang membuat Pemerintah defisit keuangan dan memaksa untuk berutang lagi,” ungkapnya.

Isu intervensi asing pun mencuat dalam narasi berbagai media. Laporan media Rusia Sputnik secara eksplisit menuding miliarder George Soros berada di balik kerusuhan demonstrasi di Indonesia akhir Agustus.

Revolusi Berwarna, Bendera One Piece dan Konspirasi Di Balik Amok Masa Agustus Kelabu

Laporan yang mengutip analis geopolitik Angelo Giuliano dan Jeff J. Brown, mengaitkan gejolak di Indonesia dengan pola revolusi berwarna yang pernah terjadi di negara lain. Hal serupa muncul pada aksi lanjutan di gedung DPR RI pada Sabtu (6/9), aksi seperti piknik akhir pecan dengan aneka permainan dan makan bersama di depan DPR dilakukan oleh masyarakat, dengan tuntutan 17+8.  Selain itu aksi dimedia sosial pun mengggema dengan menggunakan berbagai ikon yang mengacu pada tiga warna, pink, hijau dan biru.

Warna pink diambil dari warna kerudung seorang ibu saat ikut melawan aparat didepan gedung DPR RI. Warna hijau mewakili almarhum Affan pengendara ojek on line yang tewas di lindas mobil Barakuda Brimob Polri, dan warna biru adalah simbol lama yang sempat menggema dengan tagar Indonesia darurat beberapa waktu lalu.

Selain itu Giuliano mencurigai kemunculan simbol bendera bajak laut ‘One Piece’ di tengah aksi sebagai tanda keberadaan agenda eksternal. Dalam anime One Piece, bendera hitam tengkorak jerami melambangkan perlawanan terhadap tirani, simbol yang sejak Juli 2025 mulai muncul di berbagai demonstrasi di Indonesia. Giuliano menduga setidaknya dua aktor asing berperan.

Pertama, National Endowment for Democracy (NED) yang disebutnya telah mendanai sejumlah media Indonesia sejak 1990-an; kedua, Open Society Foundations milik Soros, yang aktif menggelontorkan dana miliaran dolar ke kelompok sipil.

Jika keterlibatan ini benar, kata Giuliano, tentu ada agenda tersembunyi bernuansa geopolitik. “Selain itu, ini terkait dengan fokus Indo-Pasifik baru-baru ini, mengisyaratkan motif geopolitik,” ujarnya, merujuk pada ketegangan kawasan yang meningkat belakangan.

Pengamat Jeff J. Brown, penulis The China Trilogy, bahkan secara lugas menyamakan krisis Indonesia 2025 dengan skenario Serbia. “Ini persis seperti yang terjadi di Serbia. G7 menginginkan diktator lain yang didukung Amerika Serikat, seperti Soeharto di masa lalu,” imbuh Brown dalam wawancara dengan Sputnik.

Ia menilai Presiden Prabowo Subianto tidak sejalan dengan agenda Barat karena mendekat ke Tiongkok, Rusia, SCO, dan terutama membawa Indonesia bergabung dengan BRICS

Dengan ekonomi Indonesia terbesar ke-8 dunia (PPP) dan populasi nyaris 300 juta jiwa, Brown menyebut Indonesia sebagai target yang sangat layak untuk diserang dengan revolusi warna yang direkayasa Barat.

Tuduhan ini, meski kontroversial, mengingatkan pada jejak panjang keterlibatan asing dalam politik Indonesia. Sejak era Perang Dingin 1970-an, bayang-bayang invisible hand asing kerap muncul di balik gejolak domestik.

Mulai dari dukungan Barat terhadap rezim otoriter Orde Baru, krisis moneter 1997 yang diwarnai spekulasi asing, hingga pendanaan sejumlah lembaga. Kini, di era rivalitas baru Timur-Barat, isu intervensi eksternal kembali menghantui, seolah mengulang pola lama dalam kemasan baru.

Indikasi keterlibatan aktor-aktor terselubung juga disoroti oleh analis lain. Wawan Purwanto menyebut arah kerusuhan sudah melampaui protes spontan, ada pihak yang sengaja membuat situasi tambah ramai dan ruwet dengan tujuan tertentu.

“Belakangan memang ada yang ikut bergerak untuk membuat situasi tambah ramai. Siapa mereka nanti juga akan ketahuan, yang jelas pergerakan seperti itu butuh logistik,” kata Wawan.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi