Reshuffle kabinet yang diumumkan hari ini menyingkap wajah politik yang lebih gamblang daripada sekadar pergantian teknokrat. Kabinet kembali menjadi panggung konsolidasi kekuasaan.
Masuknya Ferry Juliantono ke kursi Menteri Koperasi, misalnya, mempertegas jalur Gerindra sebagai tulang punggung pemerintahan. Pergantian tokoh-tokoh lain pun menunjukkan satu benang merah, yaitu loyalitas politik lebih diutamakan dibanding keseimbangan atau kompromi.
Bahkan pergeseran Budi Gunawan dari posisi Menko Polkam mengirimkan pesan jelas bahwa Presiden ingin memusatkan kendali penuh atas sektor keamanan, memastikan tak ada ruang bagi figur kuat di luar garis komandonya.
Di sisi lain, publik memandang reshuffle ini dengan kacamata berbeda. Latar belakangnya adalah gelombang unjuk rasa menentang privilese DPR yang berujung ricuh dan menelan korban jiwa.
Dalam suasana seperti itu, masyarakat mengharapkan tanda nyata bahwa pemerintah berempati dan siap menjawab keresahan. Jika reshuffle terbaca semata sebagai akomodasi koalisi, legitimasi politik Presiden akan semakin rapuh.
Penambahan Kementerian Haji dan Umrah, misalnya, bisa dilihat sebagai langkah inovatif, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai pembengkakan birokrasi baru bila tak segera menghadirkan manfaat yang langsung dirasakan. Tanda tanya publik akan terjawab dengan manfaat yang dirasakan publik itu sendiri, terlebih pekerjaan rumah mengurus haji dan umrah bukan perkara biasa.
Perbandingan dengan reshuffle sebelumnya semakin menonjolkan perbedaan nuansa. Pada Februari 2025, perombakan kabinet lebih bersifat teknokratis, menyasar pos pendidikan dan sains, dan relatif bebas dari guncangan politik.
Publik melihatnya sekadar penyegaran. Sebaliknya, reshuffle kali ini dilakukan di tengah krisis sosial, menyentuh pos strategis seperti Menteri Keuangan dan Menko Polkam, serta melahirkan kementerian baru.
Skala dan konteksnya menandai bahwa langkah ini bukan sekadar penyegaran birokrasi, melainkan tindakan darurat politik untuk menjaga legitimasi pemerintahan.
Di hadapan rakyat, reshuffle akan dinilai dari arah kebijakan yang lahir setelahnya, bukan dari seremoni pelantikan. Jika pergantian menteri ini benar-benar berujung pada pembatasan privilese elite dan penguatan layanan publik, maka legitimasi pemerintah bisa pulih.
Namun bila berhenti pada distribusi kursi, reshuffle hanya akan tercatat sebagai kosmetik kekuasaan yang gagal menjawab keresahan bangsa.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















