Ada sesuatu yang ironis ketika nama besar Presiden BJ Habibie yang jadi ikon reformasi dan teknologi bangsa, muncul di dalam pusaran kasus dugaan korupsi dana iklan Bank BJB. Bukan karena beliau terlibat, melainkan karena sebuah mobil klasik Mercedes-Benz SL 280 miliknya disebut sebagai salah satu aset yang dibeli dari aliran dana haram yang diduga diterima Ridwan Kamil.
Mobil itu sejatinya adalah simbol sejarah. Habibie, presiden yang identik dengan keilmuan dan idealisme reformasi, pernah memilikinya. Tetapi, dalam narasi baru, mobil itu justru menjadi jejak dugaan pencucian uang. Kendaraan bersejarah berubah jadi bukti transaksi gelap.
Jika benar pembelian mobil itu dibiayai dari dana hasil dugaan patgulipat duit bank pelat merah, maka yang dipertaruhkan bukan hanya uang negara, tapi juga memori kolektif bangsa. Habibie mengajarkan kita tentang kerja keras, inovasi, dan pengabdian.
Namun di tangan generasi penerus kekuasaan, warisan itu justru dipelintir untuk gaya hidup, status sosial, dan mungkin kepentingan politik praktis.
Di sini publik berhak bertanya, bagaimana mungkin seorang mantan gubernur yang dielu-elukan sebagai pemimpin visioner terseret dalam kasus korupsi untuk pembelian mobil klasik?
Ini menggambarkan betapa banal wajah korupsi kita, bahwa uang rakyat bisa mengalir ke mana saja, bahkan sekadar demi memiliki kendaraan mewah yang sarat simbol, tetapi tanpa makna luhur.
Kasus Mercy Habibie ini menjadi cermin yang memantulkan dua wajah Indonesia, satu wajah ideal yang diwakili BJ Habibie yang penuh dedikasi dan integritas. Dan, satu wajah muram politikus yang rela menukar integritas dengan kemewahan.
Jika KPK membuktikan tuduhan ini, maka sejarah akan mencatat bukan mobil Habibie yang tercoreng, melainkan mereka yang berani mengotorinya dengan uang rakyat.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















