Kenaikan pangkat 27 perwira tinggi Polri pada 12 September 2025 tidak bisa dibaca sebatas seremoni birokrasi. Ia adalah kode institusional yang menandai dimulainya babak baru suksesi Kapolri. Semua tanda mengerucut pada pertanyaan siapa yang akan menggantikan Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dari sekian nama, dua figur kini menonjol, Wakapolri Komjen Dedy Prasetyo dan Kepala BNN Komjen Suyudi Ario Seto.
Dedy Prasetyo, alumni Akpol 1990, adalah kandidat alami. Portofolionya lengkap. Kepemimpinan kewilayahan sebagai Kapolda Kalimantan Tengah, pengawasan internal sebagai Irwasum, manajemen SDM sebagai Asisten Kapolri bidang SDM, serta komunikasi publik sebagai Kadiv Humas.
Ia juga pernah bertugas di luar Jawa seperti Maluku Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, memberinya pengalaman luas memimpin di wilayah dengan keragaman sosial dan politik yang lebih kompleks. Dari sudut pandang kelembagaan, sulit mencari figur yang lebih logis untuk menduduki kursi Tribrata-1.
Namun, di sisi lain ada Komjen Suyudi Ario Seto, Kepala BNN yang baru saja naik bintang tiga pada Agustus lalu. Alumni Akpol 1994 ini adalah sosok reserse tulen, berkarier dari Kanit Resmob, Kapolres di Bogor dan Jakarta Pusat, hingga Wakapolda Metro Jaya dan Kapolda Banten.
Ia mendaki karier dengan cepat, menempatkannya sebagai kuda hitam yang diperhitungkan. Akan tetapi, rekam jejaknya menunjukkan satu kelemahan, ia tidak pernah bertugas di luar Jawa. Hampir seluruh kariernya berpusat di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Basis pengalaman ini memang memberinya keunggulan dalam mengelola kejahatan urban, narkotika, kriminalitas jalanan, hingga siber. Tetapi sekaligus menegaskan keterbatasan pengalamannya menghadapi kompleksitas sosial-politik di luar Jawa.
Suksesi Kapolri seharusnya berjalan di atas landasan hukum yang tegas. TAP MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetujuan DPR, dan Presiden dibantu oleh lembaga kepolisian nasional yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Kompolnas.
UU No. 2 Tahun 2002 memperkuat mekanisme ini dengan menyebut Polri berada langsung di bawah Presiden, sementara Perpres No. 17 Tahun 2011 menugaskan Kompolnas memberi pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Di atas kertas, jalurnya rapi. Wanjakti Polri menyodorkan nama, Kompolnas memberi pertimbangan, Presiden memilih, DPR melakukan uji kelayakan, dan akhirnya keputusan diambil.
Namun praktik politik tidak sesederhana teks undang-undang. Awal September lalu sempat beredar isu bahwa Istana sudah mengirim surat ke DPR terkait nama calon Kapolri. Sontak rumor itu dibantah, dengan Istana menegaskan tidak ada surat masuk.
Sanggahan ini bukan sekadar klarifikasi, melainkan sinyal bahwa permainan sebenarnya masih berada di lingkar Istana, jauh dari transparansi publik. DPR baru akan berperan ketika nama resmi diajukan, tetapi di titik itulah justru muncul ruang gelap yang kerap dikhawatirkan.
Fit and proper test memang mekanisme konstitusional, tetapi ia juga membuka peluang transaksi politik. Dukungan fraksi yang dipertukarkan dengan akses anggaran, manuver partai yang menjadikan persetujuan Kapolri sebagai kartu tawar-menawar, dan minimnya transparansi dalam proses pengujian.
Suksesi Polri 2025 karenanya menjadi ujian ganda. Di satu sisi, publik ingin melihat apakah jalur alami lewat figur seperti Dedy Prasetyo akan dihormati. Di sisi lain, politik mungkin saja memilih kuda hitam seperti Suyudi Ario Seto yang lebih Jawa sentris namun mendapat restu politik untuk melesat.
Dan, di atas segalanya, yang dipertaruhkan bukan hanya siapa yang duduk di kursi Kapolri, melainkan apakah negara konsisten menjaga semangat reformasi yang digariskan TAP MPR dua dekade lalu, atau membiarkan suksesi Polri kembali terjebak dalam gelapnya transaksi politik di Senayan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















