Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang bertekad mengejar para pengemplang pajak mengingatkan publik pada sosok koboi di film klasik yang menantang bandit di jalanan tandus. Dengan nada tegas, ia menyinggung adanya 200 pengemplang pajak besar dengan tunggakan sekitar Rp50–60 triliun yang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Dalam seminggu saya paksa bayar,” katanya kemarin.
Kalimat singkat itu terdengar seperti letupan peluru pertama. Tetapi dalam politik fiskal yang penuh jebakan kepentingan, publik berhak bertanya, apakah koboi fiskal ini benar-benar akan menembak, atau sekadar melepaskan peluru kosong?
Rp60 triliun jelas bukan angka kecil. Dana sebesar ini setara dengan pembangunan ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, atau program subsidi strategis yang langsung menyentuh rakyat kecil.
Jika negara berhasil menagihnya, dampaknya nyata terhadap defisit APBN dan kualitas belanja publik. Tetapi jika angka sebesar ini dibiarkan mandek, maka sama artinya negara merelakan perampokan terang-terangan yang dilakukan oleh segelintir orang kaya.
Lebih ironis lagi, para bandit pajak ini justru hidup nyaman, berbisnis di Indonesia, mengeruk keuntungan dari konsumen lokal, tetapi menolak membayar kontribusi kepada rakyat Indonesia.
Ketimpangan perlakuan selama ini sudah terlalu kentara. Pedagang kecil ditagih pajaknya, nelayan sederhana dipaksa bayar retribusi, dan karyawan digerogoti lewat potongan otomatis.
Sementara itu, konglomerat dan korporasi besar lihai menyembunyikan kekayaan di luar negeri atau bersembunyi di balik utak-atik fras hukum. Inilah wajah nyata ketidakadilan fiskal, hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika Purbaya ingin berbeda dari pendahulunya, ia harus berani mengubah pola lama ini. Bukan lagi kompromi, melainkan transparansi. Bukan lagi negosiasi, melainkan eksekusi.
Tantangan besar menanti. Para penunggak pajak bukan sekadar individu nakal, tetapi jaringan mapan dengan akses politik dan kekuatan finansial. Menghadapi mereka berarti menantang benteng kekuasaan yang sudah lama kokoh.
Karena itu, keberanian politik adalah kunci. Publik akan menilai apakah Purbaya benar-benar menjalankan mandat rakyat atau sekadar mengulang cerita lama di mana negara gagah di podium namun lemah di lapangan.
Bank Dunia pernah mencatat potensi kehilangan penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp944 triliun per tahun akibat ketidakpatuhan. Angka itu menegaskan bahwa Rp60 triliun hanyalah puncak gunung es.
Maka gebrakan ini tak boleh berhenti pada satu-dua kasus inkracht, tetapi harus disertai pembenahan sistem, percepatan reformasi administrasi Coretax, dan audit independen. Yang terpenting, hasilnya harus terukur, berapa rupiah yang benar-benar masuk kas negara, bukan sekadar angka di konferensi pers.
Rakyat sudah bosan mendengar janji. Mereka ingin bukti bahwa keadilan fiskal ditegakkan tanpa pandang bulu. Bila Purbaya berhasil, ia akan dikenang sebagai menteri yang berani menembak bandit pajak tanpa kompromi. Tetapi bila gagal, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai koboi yang pandai berkoar, namun tak pernah menarik pelatuk.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















