Jakarta, Aktual.com – Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB tentang konflik Palestina–Israel terdengar penuh keseimbangan. Ia menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina melalui solusi dua negara, sembari menekankan perlunya jaminan keamanan bagi Israel.
Kalimat itu mungkin tampak indah di atas podium dunia, menampilkan wajah Indonesia sebagai bangsa moderat dan penengah. Namun, bagi mereka yang hidup di Gaza dan Tepi Barat, kata-kata itu hanyalah frasa diplomatik yang berjarak dari realita.
Realita yang dimaksud bukan sekadar konflik berkepanjangan, melainkan statistik yang menyesakkan. Pertengahan 2025, lebih dari 60 ribu warga Palestina tewas, di mana 18 ribu di antaranya adalah anak-anak dan hampir 10 ribu adalah perempuan.
Data PBB bahkan menyebut hampir 70 persen korban adalah mereka yang paling tak bersenjata anak dan perempuan. Di Tepi Barat, angka anak-anak yang tewas akibat operasi militer melonjak tajam, menambah daftar luka panjang yang tak kunjung sembuh.
Setiap angka itu adalah nyawa, suara kecil yang tak sempat tumbuh, ibu yang tak lagi bisa memeluk, keluarga yang runtuh seketika. Bila mayoritas korban adalah mereka yang paling tidak berdaya, pantaskah kita menempatkan isu keamanan Israel sejajar dengan jeritan kemanusiaan Palestina?
Lebih ironis lagi, dalam pidato itu tidak ada frasa yang menyinggung aksi genosida zionis yang sudah berkali-kali dikutuk komunitas internasional. Kata ‘pendudukan’, ‘blokade, apalagi ‘genosida’, tak sekali pun disebut.
Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan pembantaian sistematis dan penghancuran infrastruktur sipil yang melampaui sekadar konflik bersenjata. Absenya istilah itu memperlihatkan bahwa diplomasi kita memilih jalur aman, menghindari kata-kata yang mungkin menyinggung negara-negara besar, meskipun dengan itu kita menutup mata atas penderitaan yang nyata.
Kontras ini menjadi semakin kentara jika kita mengingat preseden sejarah. Sejak Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, Soekarno menempatkan Palestina sebagai simbol perlawanan anti-kolonial.
Soekarno pernah berkata, “Selama bangsa Palestina belum merdeka, maka selama itu bangsa Indonesia berdiri di garis depan menentang imperialisme.” Warisan itu diteruskan presiden-presiden setelahnya. Dengan garis sejarah itu, pidato Prabowo yang menyandingkan kemerdekaan Palestina dengan keamanan Israel terdengar sebagai penyimpangan dari konsistensi panjang diplomasi Indonesia.
Lebih jauh, pernyataan bahwa Indonesia siap mengakui Israel jika Palestina merdeka menimbulkan dilema moral. Di satu sisi, ini bisa dianggap jalan diplomatis. Di sisi lain, ini bisa terbaca sebagai normalisasi yang memberi legitimasi sebelum keadilan benar-benar tercapai.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















