Jakarta, aktual.com – Rencana Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026 menuai kritik keras dari organisasi kesehatan, akademisi, dan pemerhati anak. Pernyataan Menkeu yang menilai tarif cukai rokok 57% sudah terlalu tinggi dinilai keliru, menyesatkan, dan berbahaya bagi perlindungan kesehatan publik. Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Yayasan Lentera Anak, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menilai keputusan tersebut sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada industri rokok dan sekaligus mengabaikan hak rakyat atas kesehatan.
Akhir-akhir ini, Menkeu Purbaya dalam berbagai pernyataan di media menyebutkan cukai hasil tembakau (CHT) 57% sudah terlalu tinggi, padahal sebenarnya angka tersebut adalah batas maksimum yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007. Pada faktanya, belum pernah ada merek rokok yang dikenai tarif cukai 57%, paling tinggi adalah 53% pada Sigaret Putih mesin (SPM) Gol I. Bahkan pada SKT Gol III, cukainya hanya 14%. Angka ini terlampau jauh sangat rendah jika dibandingkan standar internasional. WHO merekomendasikan tarif cukai minimum 75% dari harga ritel pasar, dengan kenaikan tahunan sekitar 25% khusus untuk Indonesia, agar keterjangkauan rokok dapat ditekan.
Namun, Indonesia selama ini hanya menaikkan tarif sekitar 10–11% per tahun. Keputusan untuk tidak menaikkan cukai pada 2026 yang dinyatakan Menkeu Purbaya di media justru akan membuat prevalensi perokok, terutama anak dan remaja, kembali meningkat. Konsekuensinya adalah lonjakan angka penyakit mematikan akibat tembakau serta beban ekonomi yang lebih besar.
Menurut data CISDI (2022), beban BPJS Kesehatan akibat penyakit terkait rokok mencapai Rp27 triliun per tahun. Sementara itu, keluarga miskin menghabiskan belanja terbesar kedua mereka untuk rokok setelah beras (BPS). Artinya, kebijakan stagnasi cukai akan semakin menjerat keluarga pra-sejahtera dalam lingkaran kemiskinan.
Keputusan Menkeu Purbaya untuk mengumumkan kebijakan cukai setelah bertemu dengan perusahaan rokok besar seperti Gudang Garam, Djarum, dan Wismilak juga memunculkan kecurigaan kuat akan konflik kepentingan. Padahal, kebijakan fiskal seharusnya berpihak pada rakyat, bukan industri/oligarki, apalagi industri yang merusak.
“Pembunuhan rakyat didukung oleh Pemerintah sendiri melalui industri pembunuh, boleh dikatakan ini fenomena pembunuhan kepada rakyat Indonesia yang dilegitimasi oleh negara” tegas Tulus Abadi, Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau. Menurutnya, “Langkah Menkeu Purbaya sangat mengecewakan. Komitmennya untuk memperbaiki ekonomi negara patut diragukan karena justru berpihak pada oligarki industri rokok yang selama ini merongrong Indonesia. Kami mendesak Menkeu mengkaji kembali keputusannya yang sembrono dan membahayakan rakyat, jangan sampai menjadi antek industri yang membunuh.”
Senada dengan itu, Dr. Hermawan Saputra, Ketua Umum Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menilai keputusan pemerintah tidak berdasar. “Pemerintah menggadaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat demi keuntungan pengusaha rokok. Padahal, tujuan utama cukai adalah kesehatan publik. Ironisnya, Pemerintah bukannya berkonsultasi dengan pakar kesehatan masyarakat, tapi malah kepada industri yang jelas-jelas menjadi pihak yang diatur. Kami mengundang Menkeu berdialog dengan ahli kesehatan masyarakat – kalau berani,” tegasnya.
Keputusan ini juga menunjukkan bahwa industri tembakau mendapatkan akses istimewa langsung ke level tertinggi pembuat kebijakan fiskal, sementara suara publik – terutama perlindungan anak – terpinggirkan.
“Industri tembakau menekan pemerintah dengan berbagai narasi yang disuarakan melalui multi front group, mulai dari ancaman PHK massal, isu rokok ilegal, klaim kontribusi Rp230 triliun untuk APBN, hingga dalih melindungi UMKM. Namun pada akhirnya, semua narasi diarahkan pada satu tujuan: agar cukai rokok tidak dinaikkan,” kata Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak.
Menurut Lisda, ini menunjukkan adanya kompromi berbahaya. Kebijakan negara yang seharusnya melindungi kesehatan rakyat justru disetir oleh kepentingan konglomerat rokok demi menjaga laba.
“Pengalaman tahun 2019 sudah membuktikan bahwa ketika industri diberi ruang, roadmap simplifikasi tarif gagal dijalankan akibat tekanan industri. Kini pola yang sama terulang,” tambahnya.
Dari perspektif akademisi, stagnasi tarif cukai apalagi moratorium akan merugikan publik dari dua sisi sekaligus: kesehatan dan ekonomi. “Tidak memahalkan rokok adalah kerugian besar bagi publik,” tegas Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI.
“Prinsip dasar cukai adalah melindungi masyarakat dan sekaligus mendatangkan penerimaan negara. Dengan tidak naiknya tarif, Pemerintah kehilangan potensi penerimaan negara sekaligus melemahkan upaya pengendalian konsumsi. Perusahaan rokok tetap untung besar, sementara beban kesehatan ditanggung publik. Masalah pekerja bukan karena kebijakan kesehatan, melainkan absennya perlindungan dari perusahaan yang eksploitatif,” jelasnya.
Rokok membunuh sekitar 268.000 rakyat Indonesia setiap tahun (IHME, 2023). Namun, nyawa ini seolah tidak dihitung dalam kalkulasi fiskal pemerintah. “Apakah pemerintah memilih melindungi industri perusak kesehatan?” tanya dr. Annisa Dian Harlivasari, Sp.P., Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
“Tren penyakit akibat rokok, termasuk penyakit paru, terus meningkat. Konsumsi rokok harus dikendalikan, bukan malah dibiarkan demi keuntungan industri. Kematian ratusan ribu orang setiap tahun akibat rokok tampak disepelekan. Keputusan ini menunjukkan Pemerintah lebih melindungi kepentingan industri ketimbang nyawa rakyatnya.”
Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa keputusan Menkeu Purbaya adalah kemunduran besar dalam perlindungan kesehatan publik. Cukai rokok adalah win-win solution yang terbukti efektif di berbagai negara: mengurangi konsumsi, menurunkan prevalensi perokok, melindungi generasi muda, serta meningkatkan penerimaan negara.
Karena itu, organisasi-organisasi yang hadir dalam konferensi pers ini mendesak:
1. Menkeu Purbaya membatalkan keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026.
2. Pemerintah menaikkan tarif cukai secara signifikan, setidaknya 25% per tahun, sesuai rekomendasi WHO.
3. Melakukan reformasi struktural berupa penyederhanaan golongan cukai, mendekatkan jarak tarif antar golongan ke atas, penghapusan diskon, dan penetapan Harga Jual Eceran (HJE) tinggi untuk menekan keterjangkauan rokok.
4. Menetapkan kebijakan multi-tahun untuk Cukai Hasil Tembakau (CHT) demi memastikan komitmen Pemerintah dalam perlindungan rakyat dari produk tembakau dan turunannya tanpa dinamika dan tekanan industri.
5. Menghentikan konflik kepentingan dengan industri rokok, dan melibatkan pakar kesehatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan fiskal yang berdampak langsung pada kesehatan publik.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok bukan hanya kebijakan yang keliru, tetapi juga ancaman nyata bagi masa depan kesehatan bangsa. Ketika industri rokok dilindungi, rakyatlah yang menjadi korban: jatuh sakit, semakin miskin, dan meninggal lebih cepat. Organisasi kesehatan, akademisi, dan aktivis anak menegaskan kembali bahwa pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada industri perusak.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















