Usulan Presiden Prabowo Subianto mengenai solusi dua negara Palestina–Israel dalam Sidang Umum PBB menuai kritik keras. Akademisi menilai gagasan tersebut ceroboh, tidak realistis, bahkan bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan.
Pizaro Gozali Idrus, kandidat PhD Hubungan Internasional di Universiti Sains Malaysia, menilai pidato Presiden yang menekankan pentingnya menjamin keselamatan dan keamanan Israel sebagai sikap yang ahistoris dan menyesatkan.
“Israel itu penjajah, ngapain dijamin keselamatan dan keamanannya. Israel sudah dijamin Amerika Serikat dan sekutu Barat. Yang perlu dijamin itu Gaza, bukan Israel,” tegasnya, Rabu (1/10/2025).
Ia menyebut langkah Indonesia mendorong solusi dua negara sebagai blunder politik luar negeri. Menurutnya, di tengah gelombang pengakuan internasional terhadap Palestina, Indonesia justru terkesan menjual murah perjuangan Palestina dengan mengakui Israel.
Pizaro juga mempertanyakan batas demografi yang jadi acuan usulan Indonesia. Palestina yang semula menguasai 45 persen wilayah sebelum 1948, kini hanya tersisa 15 persen dan itupun sudah luluh lantak akibat agresi Israel. “Kan enak saja Israel sudah hancurkan Palestina tapi tidak tanggung jawab. Kalau solusi dua negara dipakai, Indonesia harus berani mendesak Israel membangun kembali Gaza,” katanya.
Ia menegaskan, ketimbang mengusulkan solusi dua negara, Indonesia seharusnya konsisten pada amanat UUD 1945 dan menolak segala bentuk penjajahan. “Ini justru saatnya Indonesia memimpin blok negara penentang Israel, seperti semangat Soekarno dalam Gerakan Non-Blok,” pungkasnya.
Solusi Dua Negara Mustahil Terwujud
Kritik juga datang dari Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Teuku Razasyah. Menurutnya, usulan solusi dua negara mustahil diwujudkan karena sarat hambatan politik dan hukum internasional.
Ia menyebut setidaknya ada enam faktor penghambat, mulai dari batas wilayah yang tidak diakui, keberanian rakyat Palestina untuk kembali ke tanahnya, hingga ketiadaan panduan rinci dari PBB. Razasyah juga menyoroti tidak adanya kesepakatan langkah konkret di antara negara-negara pendukung solusi dua negara.
Selain itu, figur mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang dipercaya AS mengatur transisi dianggap tidak kredibel di Timur Tengah. Keterlibatannya dalam Perang Teluk 2003, yang menghancurkan Irak atas dasar intelijen keliru, semakin merusak reputasinya.
Faktor terakhir, kata Razasyah, negara-negara Timur Tengah dan Palestina sendiri tidak memiliki gagasan konseptual besar maupun figur karismatis yang mampu berdebat dengan Amerika Serikat di forum internasional.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















