Pasar Gelap Kursi Ibadah

Jakarta, aktual.com – Kasus dugaan korupsi kuota haji yang kini disidik KPK bukan sekadar soal suap antar pejabat dan pengusaha travel. Kasus ini adalah jaringan berlapis yang menyatukan birokrasi, asosiasi, dan individu perantara dalam skema yang rapi namun sulit diurai. Dari luar, tampak seperti sistem distribusi administratif. Namun di dalam, bekerja seperti pasar gelap yang mengatur siapa bisa berangkat ke Tanah Suci dan siapa harus menunggu lebih lama.

Kompleksitas itu terlihat dari cara uang berpindah. Setoran yang disebut ‘biaya percepatan’ atau ‘kutipan’ dikumpulkan lewat perantara, lalu disalurkan ke sejumlah pejabat di Kementerian Agama.

“Ada yang modusnya percepatan, ada yang memang modusnya memberikan, semacam ya ‘kutipan’ ke pihak-pihak Kementerian Agama,” kata Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK.

Nilai uang yang sudah diamankan lembaga antirasuah ini mendekati Rp 100 miliar, sebagian diserahkan kembali oleh biro perjalanan setelah dipanggil penyidik atau melalui asosiasi. “Kalau sudah puluhan miliar mungkin sudah, mendekati seratus ada, gitu,” kata Ketua KPK, Setyo Budiyanto.

Namun angka itu hanyalah permukaan dari peta masalah yang jauh lebih besar. Potensi kerugian negara akibat manipulasi pembagian kuota haji yang seharusnya 92 persen reguler dan 8 persen khusus, tapi diduga diubah menjadi 50:50. Kalkulasi sementara bisa mencapai angkat Rp 1 triliun.

Berlapis dan Berjenjang

KPK mendapati bahwa aliran dana dalam kasus ini tidak berjalan linear. Ia berlapis dan berjenjang, dengan pola pengumpulan uang menyerupai piramida, dari travel ke asosiasi, lalu ke ‘juru simpan’, sebelum akhirnya sampai ke tangan pejabat di Kementerian Agama.

“Jadi, ada juru simpan di beberapa tingkatan,” beber Budi Prasetyo.

“Mereka berfungsi sebagai pengumpul utama, lalu menyalurkan kepada pihak yang punya kewenangan menentukan kuota,” Budi menambahkan

Skema ini tidak mencuat tiba-tiba. Dalam penyelidikannya, KPK menemukan pola yang sudah berulang selama beberapa musim haji terakhir, tapi baru kali ini ditangani secara terbuka.

Kuota tambahan dari Arab Saudi menjadi pintu masuknya. Secara hukum, tambahan 20.000 kursi itu seharusnya diatur melalui keputusan menteri, agar pembagiannya jelas.

Namun praktik di lapangan menunjukkan pembagian ditetapkan lewat surat edaran internal, tanpa dasar hukum yang kuat. Di ruang-ruang itulah uang berputar.

Dugaan jual-beli tidak berhenti pada jemaah. KPK menemukan sebagian kuota petugas haji, termasuk tenaga kesehatan dan pembimbing ibadah, juga diperjualbelikan kepada calon jemaah umum.

“Artinya, petugas kesehatan yang seharusnya mendampingi jemaah menjadi berkurang jumlahnya,” ungkap Budi.

Praktik itu tidak hanya memperkaya oknum, tapi juga mengorbankan fungsi layanan publik di tanah suci. Di sisi lain, juru simpan menjadi simpul paling menarik sekaligus paling misterius dalam penyidikan.

Sosok ini bukan pejabat negara, tapi memiliki akses langsung ke jaringan biro perjalanan dan pejabat Kemenag. Ia disebut berperan sebagai penampung dana setoran dari berbagai daerah, sebelum sebagian uang itu disalurkan kepada pihak-pihak tertentu.

“Juru simpan itu sedang kami dalami. Kami bekerja sama dengan PPATK untuk menelusuri rekening dan aset yang berkaitan,” kata Budi.

Cuci Uang, Cuci Tangan

Skema juru simpan ini bersifat bertingkat. Ada pengepul di tingkat asosiasi, lalu pengepul utama di lingkaran pusat. KPK menelusuri apakah dana itu hanya berhenti pada satu individu atau sudah disamarkan dalam bentuk aset. Jika terbukti, lembaga antirasuah membuka kemungkinan menerapkan pasal TPPU.

“Kami akan lihat sejauh mana uang itu dialirkan, apakah disamarkan atau digunakan untuk membeli aset tertentu,” ujar Setyo Budiyanto.

Yang menarik, sebagian uang yang kini disita KPK ternyata dikembalikan secara sukarela. Ada beberapa pihak yang menyerahkan uang ketika kasus ini mulai mengemuka. Pengembalian itu diduga dilakukan oleh biro perjalanan yang ingin memutus jejak hukum, atau oleh asosiasi yang merasa ikut terseret.

Namun langkah itu tak serta-merta menghapus potensi pidana. Bagi KPK, pengembalian justru menguatkan bukti bahwa memang ada uang yang tidak semestinya berpindah tangan.

Hingga awal Oktober 2025, KPK menyebut penetapan tersangka tinggal soal waktu. Nama-nama belum diumumkan, tapi sinyalnya jelas. Penyidik telah memanggil sejumlah pejabat aktif dan mantan pejabat Kemenag, serta memeriksa perwakilan asosiasi travel seperti Gaphura dan AMPHURI.

Fokus penyidikan bukan lagi sekadar siapa yang menerima uang, tetapi bagaimana sistem di Kemenag memungkinkan hal itu terjadi tanpa meninggalkan catatan resmi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto