Jakarta, Aktual.com – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat keracunan massal akibat Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga 4 Oktober 2025 menembus angka 10.482 anak. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR), merilis, per 5 Oktober 2025 tercatat 119 kejadian dengan 11.660 kasus keracunan MBG di 25 provinsi dan 88 kabupaten/kota.
Sejumlah sekolah, orang tua, dan masyarakat di beberapa daerah pun mulai menolak program yang sudah menghabiskan anggaran negara Rp13 triliun per 8 September 2025 ini. Dari semua kejadian ini sudah semestinya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG, dari mulai perencanaan, anggaran, hingga pelaksanaannya.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin menyampaikan, munculnya keracunan massal dalam program MBG menunjukkan ada metode ataupun pendekatan yang keliru dalam pelaksanaan program tersebut. Badan Gizi Nasional (BGN), katanya, tidak perlu malu mengakui adanya kekurangan itu.
“Pemerintah harus mencari cara yang paling tepat. Apakah cara sekarag sudah tepat. Harus berani ada evaluasi. Jangan takut ada evaluasi dan kontrol. Jangan gerah kalau ada kritik,” papar Zukfikar kepada Aktual.com, Jakarta, Sabtu (10/10/2025).
Baca juga:
Pastikan Keamanan Pangan, Legislator PKB Dukung Gagasan School Kitchen untuk MBG
Menurutnya, program MBG bertujuan mulia karena itu pengelolanya harus memiliki semangat yang sama. “Laksanakan sungguh-sungguh, niatnya dalam rangka masyarakat hidup berkualitas. Jangan sampai niatnya proyek dan rente,” ujar Zulfikar.
Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Gerindra Putih Sari pun mendesak hal sama. BGN, katanya, tidak perlu takut untuk melakukan evaluasi secara total tata kelola program MBG. “Program ini harus tetap terjaga dan tidak tergerus oleh buruknya tata kelola di lapangan,” kata Putih dalam keterangan persnya.
BGN, katanya, harus mampu mengevaluasi secara detail setiap teknis penyelenggaraan dari hulu ke hilir serta meningkatkan standar keamanan makanan. Evaluasi menyeluruh perlu segera dilakukan agar manfaat besar yang dibawa program tidak tertutupi oleh catatan buruk pengelolaan di lapangan.
Peneliti Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Diyah Hesti Kusumawardani menyampaikan, keracunan makanan di program MBG bukan sekadar kesalahan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
“Kalau dari analisa sistem, ikan busuk dari kepalanya. Kesalahan apapun itu awalnya ya datang dari pusatnya, dari pimpinannya. Seharusnya BGN secara tegas sudah menyiapkan SOP, quality control, dan food safety,” kata Diyah Hesti, kepada Aktual.com, Jakarta, Sabtu (10/10/2025).
Baca juga:
Dapur SPPG MBG Harus Jalankan SOP Pelayanan dengan Baik
Dari kasus keracunan massal, ujarnya, terlihat BGN mengabaikan quality control dan food safety. Hal ini, katanya, tidak baik untuk kelangsungan MBG dalam jangka panjang. “Walau misalnya, dari 3 ribu porsi yang dimasak itu korban keracunan tidak keseluruhannya, tetap harus ada evaluasi menyeluruh karena ini berkaitan dengan manusia, apalagi anak-anak,” papar Diyah Hesti.
Kejar Target Korbankan Siswa
Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih, menyampaikan, insiden keracunan merupakan akibat dari ketergesaan pengelolaan program yang ingin mengejar target capaian penerima manfaat, jumlah dapur, serapan anggaran, dan mengesampingkan aspek gizi dan keamanan pangan.
“Kami meyakini, kasus keracunan MBG yang terjadi di berbagai daerah diakibatkan oleh belum siapnya infrastruktur tata kelola kelembagaan dan monitoring-evaluasi,” papar Diah.
Baca juga:
KPK Kaji Pelaksanaan MBG untuk Cegah Tindak Pidana Korupsi
Pihaknya pun meminta dilakukan evaluasi menyeluruh program MBG yang mencakup tata kelola organisasi, penentuan menu kualitas makanan yang disalurkan, serta besaran alokasi dan akuntabilitas anggaran.
Diah juga menyebutkan, sangat minimnya pelibatan pemerintah daerah dan pihak sekolah dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi program turut berkontribusi pada maraknya kasus keracunan MBG di daerah.
Pihaknya pun mengusulkan desain program MBG yang targeted, desentralistik, dan terintegrasi dengan sistem kesehatan dan pendidikan, menimbang keterbatasan ruang fiskal dan besarnya anggaran MBG mendisrupsi agenda pembangunan prioritas lainnya.
Eliza Mardian, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyampaikan, persoalannya utama MBG adalah pada model dapur yang digunakan Pemerintah yang menggunakan sistem sentralistik.
Ia pun mengusulkan model dapur yang bisa menjadi solusi bersama di tengah ambisi pemerintah untuk ekspansi penerima manfaat hingga 82,9 juta siswa, dan menggenjot pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.
“Pertama, dapur UMKM. Dapur yang dikelola UMKM setempat. Dapur ini bisa menggerakan ekonomi lokal, membuka lapangan kerja memperkuat rantai pasok makan lokal. Dapur ini juga bisa menerima hasil panen atau produk pangan lokal masyarakat setempat,” paparnya.
Baca juga:
Wakil Kepala BGN Sebut Program MBG Tidak Boleh Berorientasi Bisnis
Kedua, dapur sekolah. Eliza menjelaskan, dapur yang berada di sekolah akan menekan biaya distribusi dan menciptakan kualitas yang lebih ketat. Dapur sekolah juga, katanya, bisa perkuat hubungan sekolah, orang tua dan siswa.
“Ketiga, dapur koperasi pedagang pasar. Dapur ini akan berintegrasi dengan para pedagang pasar yang menjadi anggota koperasi. Dari segi pengadaan bahan baku lebih murah sehingga menekan biaya produksi,” ucapnya.
Model terakhir, adalah dapur yang dikelola oleg lembaga masyarakat atau lembaga sosial (NGO). Dengan model darur ini, membuka ruang partisipasi masyarakat sipil untuk terlibat. “Pemerintah perlu reorientasi kebijakan. Indikator keberhasilan MBG bukan hanya seberapa cepat atau seberapa banyak penerima manfaat, tapi seberapa kualitas program ini,” ujarnya.
Diyah Hesti mengatakan, pelaksanaan MBG selama ini mengabaikan modal sosial. SPPG mestinya tidak hanya dari instasi pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua siswa juga bisa berperan dalam pengelolaan dapur.
“Di Jepang misalnya, makan bergizi disediakan sekolah. Sehingga orang tua dan masyarakat bisa mengawasi,” ungkapnya.
Zulfikar menyampaikan, semestinya ada semangat desentralisasi dalam program prioritas seperti MBG. Pemerintah daerah perlu dilibatkan dari proses hingga pelaksanaannya. “Desentralisasi yang sesuai potensi masing-masing daerah. Kan bisa riset kemudian bisa diputuskan yang paling sesuai dengan karakteristik daerahnya,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















