MBG: Anggaran Jumbo Minim Transparansi 

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dan DPR RI menyetujui anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada APBN 2026 senilai Rp335 triliun. Alokasi ini melonjak 470 persen dari tahun sebelumnya yang senilai Rp71 triliun, meskipun penyerapan anggarannya per September 2025 hanya sebesar Rp 13,2 triliun.

Namun, anggaran yang besar ini dinilai minim akuntabilitas dan transparansi. Apalagi, dalam pelaksanaannya per 5 Oktober 2025 tercatat 119 kejadian dengan 11.660 kasus keracunan MBG di 25 provinsi dan 88 kabupaten/kota.

Insiden ini menunjukkan lemahnya tata kelola program MBG. Jika tak tertangani dengan baik ke depannya, bukan saja nyawa siswa dan penerima manfaat lainnya yang dipertaruhkan, tapi juga uang pajak rakyat yang berisiko terhamburkan, dan potensi penyalahgunaan anggaran.

Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih menyebutkan, akuntabilitas program MBG patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berjalan di 38 provinsi dan jumlah penerima manfaat mencapai lebih dari 22 juta, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya transparansi yang bisa diakses publik.

“Isu potensi risiko korupsi juga menguat, sebagaimana laporan Transparency International Indonesia di mana beberapa menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata penerima manfaat sebesar Rp10 ribu per porsi,” ungkap Diah dalam keterangannya kepada Aktual,com.

Baca juga:

Siswa Jadi Korban: MBG Jangan Jadi Proyek dan Rente

Apalagi, kata Diah, meski sudah berlangsung selama lebih dari sembilan bulan, program MBG belum juga dilandasi oleh Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum tata kelola. “Tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak,” ungkapnya.

Karena itu, pihaknya mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) melakukan perbaikan tata kelola MBG yang mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan pelibatan bermakna masyarakat sipil pada setiap tahapan program MBG.

“Pemerintah harus serius  membenahi perencanaan, penganggaran, dan kualitas belanja program MBG. Sebagai program nasional yang dibiayai anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat, MBG harus direncanakan dan dijalankan dengan perhitungan matang,” papar Diah.

Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan bahwa kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagian besar disebabkan oleh ketidakpatuhan pada Standard Operating Procedures (SOP) oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

“Kita bisa lihat bahwa kasus kejadian banyak terjadi di dua bulan terakhir dan ini berkaitan dengan berbagai hal dan kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang yang ditetapkan tidak dipatuhi dengan saksama,” kata Dadan, alam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (1/10).

Baca juga:

Ancaman Geser Anggaran MBG yang tidak Terserap Menteri Purbaya Sehingga Respon LBP

Ia merinci, pelanggaran SOP mencakup pembelian bahan baku yang terlalu dini dan waktu antara memasak hingga dibagikan yang terlalu lama. Sebagai tindakan, BGN telah menutup sementara SPPG yang tidak mematuhi SOP.

Kaburnya Standar Hingga Rente dibalik MBG

Koalisi Warga Tolak Proyek Makan Bergizi Gratis menyampaikan, minim transparansi dan akuntabilitas program MBG bisa dilihat dari tata kelola yang sangat tertutup. Kerja sama (MoU) antara BGN dan sekolah/orang tua tidak memuat pertanggungjawaban jelas dan bahkan melarang publikasi data.

“Publik tidak mengetahui kriteria penerima, standar menu, maupun mekanisme distribusi. JPPI menemukan 70 persen sekolah yang dipantau tidak mendapat informasi resmi tentang jadwal maupun standar gizi MBG,” papar koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, FIAN Indonesia, jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Transparency International Indonesia, Suara Ibu Peduli ini.

Baca juga:

KPK Kaji Pelaksanaan MBG untuk Cegah Tindak Pidana Korupsi

Minimnya transparansi dan akuntabilitas program MBG, juga membuka ruang praktik rente dan korupsi karena rawan menjadi bancakan politik, seperti pada pemilihan mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang kental konflik kepentingan.

“Dengan anggaran jumbo, MBG berubah menjadi lahan rente dan potensi korupsi baru. Praktik pemotongan harga per porsi yang dilakukan oleh yayasan pengelola SPPG menciptakan risiko korupsi,” tulis ICW dalam keterangan persnya.

Praktik tersebut tidak hanya berpotensi menurunkan kualitas menu yang diberikan, tapi juga menimbulkan potensi kerugian (potential lost), mengingat besarnya nilai akumulatif pemotongan yang terjadi secara masif dan sistemik.

“Dampaknya, penerima manfaat dipaksa mengkonsumsi makanan basi sementara dana miliaran rupiah tetap digelontorkan,” tulis Koalisi Warga Tolak Proyek Makan Bergizi Gratis.

Koalisi pun mendesak Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan serta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit investigatif selama program MBG berlangsung.

“Kami juga meminta praktik rente dan korupsi dalam MBG diusut, dan menindak tegas para pelakunya,” pungkas mereka.

Baca juga:

Wakil Kepala BGN Sebut Program MBG Tidak Boleh Berorientasi Bisnis

Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani mendukung usulan Mendikdasmen Abdul Mu’ti terkait kemungkinan pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui konsep school kitchen atau dapur sekolah

Menurut Lalu Ari, konsep school kitchen membuka peluang bagi sekolah-sekolah yang memiliki kapasitas untuk mengelola sendiri penyediaan makanan bergizi, tentu dengan syarat dan standar yang ditetapkan, termasuk penilaian kelayakan dari Badan Gizi Nasional (BGN).

“Saya menilai ini pendekatan yang progresif dan sesuai semangat desentralisasi pendidikan,” kata Legislator PKB di Jakarta, Sabtu (11/10).

Baca juga:

Dapur SPPG MBG Harus Jalankan SOP Pelayanan dengan Baik

Sebagai Pimpinan Komisi X DPR RI Lalu Ari menegaskan bahwa dukungan DPR terhadap program MBG harus dibarengi dengan pengawasan, koordinasi lintas kementerian, dan penyediaan bantuan teknis untuk sekolah-sekolah yang ingin menjadi school kitchen.

“Komisi X DPR RI akan mendorong agar regulasi tentang pengelolaan MBG yang nantinya diterbitkan mencakup ketentuan teknis pelaksanaan school kitchen , standar mutu gizi, keamanan pangan, mekanisme pembinaan, serta skema insentif bagi sekolah yang lolos penilaian BGN,” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa fleksibilitas dalam pelaksanaan MBG melalui school kitchen memberi ruang bagi sekolah untuk menyesuaikan menu dengan ketersediaan bahan lokal dan kondisi geografis, sehingga program ini bisa lebih adaptif dan berkelanjutan.

“Sekolah di wilayah terpencil atau daerah agraris memiliki potensi bahan pangan lokal yang bisa dimanfaatkan. Dengan pendekatan school kitchen , kita bisa mengoptimalkan sumber dayanya dan juga meminimalkan kendala logistik,” tutur Lalu Ari

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi