Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan pembentukan Komite Reformasi Polri yang digadang menjadi tonggak baru dalam upaya memperkuat institusi kepolisian. Komite ini rencananya beranggotakan sembilan tokoh lintas bidang, di antaranya disebut nama Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra. Tujuannya, memberi masukan langsung kepada Presiden untuk mempercepat pembenahan di tubuh Polri yang selama ini menjadi sorotan publik.
Menanggapi rencana tersebut, Sunanto atau Cak Nanto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2018–2022, menilai langkah itu sebagai keputusan politik yang cerdas dan strategis.
Menurut Ketua Dewan Pembina Cakrawala Negarawan ini, reformasi sejati hanya akan berhasil jika dilakukan secara sinergis antara pembenahan internal Polri dan pandangan eksternal negara, dengan fokus pada perubahan budaya, perilaku, dan sistem kerja yang lebih transparan.
Simak wawancara Aktual.com bersama Cak Nanto berikut ini.
Bagaimana Anda melihat rencana Presiden Prabowo membentuk Komite Reformasi Polri?
Langkah yang sangat tepat. Presiden ingin memastikan perubahan di Polri tidak hanya dilakukan secara internal, tapi juga dikawal oleh tokoh-tokoh nasional agar mendapat kepercayaan publik. Ini sinyal kuat bahwa reformasi Polri menjadi agenda negara, bukan sekadar urusan institusi.
Nama seperti Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra disebut akan bergabung. Tanggapan Anda?
Itu kombinasi bagus antara pengalaman hukum dan pandangan kenegaraan. Tapi siapa pun yang dipilih, yang paling penting adalah semangat kolaborasi dan orientasi pada perbaikan, bukan politik.
Belum diumumkannya komite ini dianggap manuver politik. Setuju?
Saya melihatnya sebagai langkah bijak. Kalau diumumkan terlalu cepat tanpa dukungan internal, bisa menimbulkan resistensi. Presiden tampaknya ingin memastikan reformasi ini berjalan tenang tapi pasti.
Komite disebut beranggotakan sembilan orang. Sudah ideal?
Cukup ideal. Komite ini bukan lembaga baru, hanya tim penasihat Presiden yang memberi masukan strategis agar reformasi berjalan efektif.
Reformasi seperti apa yang dibutuhkan Polri saat ini?
Yang paling penting adalah reformasi perilaku dan budaya kerja. Struktur dan aturan sudah baik, tapi perubahan mental dan etika perlu diperkuat. Polisi harus tetap tegas, tapi berperikemanusiaan.
Contohnya?
Soal suap di jalan misalnya. Itu bukan hanya soal aparat, tapi juga mental masyarakat. Kalau masyarakat tidak menawarkan suap, maka praktik itu berhenti. Reformasi harus dua arah.
Ada anggapan komite reformasi Presiden bisa tumpang tindih dengan tim reformasi Polri sendiri. Pendapat Anda?
Tidak. Justru keduanya harus sinergis. Tim internal memperbaiki dari dalam, sedangkan komite Presiden memberi perspektif dari luar. Tujuannya sama: memperkuat profesionalisme Polri.
Bagaimana Anda menilai kinerja Kapolri Listyo Sigit?
Pak Sigit bekerja substansial. Ia memperbaiki sistem rekrutmen, membuka komunikasi publik, dan menjalankan perintah Presiden secara konsisten. Ia tidak banyak bicara, tapi hasilnya nyata.
Ada yang menilai beliau terlalu loyal kepada Jokowi. Tanggapan Anda?
Kapolri memang harus patuh pada Presiden yang menjabat. Itu bukan soal loyalitas pribadi, tapi kontinuitas kebijakan. Reformasi harus berlanjut, bukan dimulai dari nol setiap ganti pemimpin.
Menurut Anda, reformasi Polri ini harus evolusioner atau revolusioner?
Evolusioner. Perubahan instan justru rawan guncangan. Kita perlu reformasi yang konsisten, terukur, dan berkelanjutan agar Polri semakin profesional dan dipercaya publik.
Anda optimistis reformasi Polri bisa berhasil?
Saya optimistis. Selama ada kemauan dari pimpinan dan dukungan publik, reformasi ini akan jadi warisan besar bagi Presiden dan Kapolri dalam membangun Polri yang humanis dan modern.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















