Jakarta, Aktual.com – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan mayoritas partisipasi pemilih di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) lebih karena politik uang ketimbang keikutsertaan yang lebih berkualitas.
“Jadi, saya mendeteksi ini ada persoalan yang serius yang kita harus bicarakan dalam soal partisipasi politik termasuk dengan pemilih,” kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bachtiar di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
Dalam temuan sejumlah riset, menurutnya, 70 persen masyarakat Indonesia bersikap permisif terhadap politik uang. Artinya, masyarakat datang ke tempat pemungutan suara (TPS) bukan karena kesedaran politik, tetapi karena politik uang.
Bachtiar pun mendorong adanya alternatif-alternatif lain dalam sistem pemilu maupun Pilkada karena fenomena partisipasi yang berkorelasi dengan politik uang bisa berdampak pada kualitas demokrasi.
Kemudian, katanya, partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada memang relatif tinggi, tetapi masyarakat kerap tak terlibat dalam pengambilan kebijakan.
“Setelah terpilih itu masyarakatnya masih ikut (berpartisipasi) nggak? Oh, ternyata setelah saya pilih kepala daerah ini sama saja. Kalau itu timbul maka pada Pilkada berikutnya masyarakatnya bisa apatis,” kata Bachtiar.
Berdasarkan catatan Kemendagri, mayoritas masyarakat cenderung tak terlibat dengan baik dalam pengambilan kebijakan daerah. Namun, pada Pilkada berikutnya, kepala daerah yang sama bisa terpilih kembali.
“Pemilihnya datang ramai-ramai ke TPS memilih kepala daerahnya, bupati, wali kota, gubernur. Lima tahun dia bekerja, masyarakatnya tidak ada hubungannya. Membuat kebijakan, tidak ada hubungannya dengan kepemilihan tadi, dan hebatnya terpilih lagi orang yang sama,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















