Jakarta, Aktual.com – Hari ini genap setahun pemerintahan Prabowo – Gibran. Dari sisi hukum banyak hal yang sudah dilakukan. Membongkar kasus korupsi kakap lewat Kejagung dan KPK. Dan niat meformasi Polri. Namun di sisi lain masih banyak PR besar di bidang hukum. Seperti apa keseriusan Prabowo dalam penegakan hukum? Apakah langkah-langkahnya sudah on the track ?
Salah satu upaya pemberantasan korupsi era presiden Prabowo diantaranya yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menangkap tangan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan, yang akrab disapa Noel, dalam dugaan kasus pemerasan di Kementerian Ketenagakerjaan, pada Rabu (20/8/2025) malam.
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025), Noel ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima uang sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024. Padahal Noel baru diangkat sebagai Wamenaker pada Oktober 2024.
Artinya, baru 2 bulan menjabat sebagai Wamenaker, Noel sudah menerima uang haram hasil pemerasan para buruh yang mengurus sertifikasi K3. Kasus ini membuat Noel menjadi pejabat tinggi pertama di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang tersandung kasus korupsi.
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Noel hanya salah satu dari upaya penegakan hukum, melalui pemberantasan korupsi, di satu tahun Pemerintahan Prabowo. Lalu, bagaimana gambaran kinerja bidang hukum Pemerintahan Prabowo-Gibran selama satu tahun berjalannya Kabinet Merah Putih?
Baca juga:
Prabowo: Koruptor Nyolong Rp2–3 Triliun Tiap Tahun, Saya Lawan
Direktur Eksekutif KPK Watch Yusuf Sahide menyampaikan masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Presiden Prabowo di bidang hukum. Persoalan yang paling pelik adalah praktik korupsi yang merajalela.
“Pak Prabowo berkomitmen untuk tidak kompromi dengan koruptor. Dan itu ditunjukkan Pak Prabowo dengan memberi ruang kepada KPK untuk menindak Immanuel Ebenezer atau Noel, yang notabene pembantunya di Kabinet,” papar Yusuf.
Presiden Prabowo, katanya, juga terlihat mendukung penuh Kejaksaan Agung RI agar berani membongkar skandal-skandal korupsi dengan kerugian negara yang fantastis. Kejagung, misalnya, mengungkap dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada Program Digitalisasi Pendidikan selama tahun 2019‑2022 di Kemendikbudristek yang merugikan negara sekitar Rp 1,98 triliun.
Kemudian kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina 2018-2023 yang merugikan negara hingga Rp 70,5 triliun, kasus korupsi PT Timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun hingga kasus CPO yang diantaranya melibatkan Wilmar Grup yang menggembalikan uang sebesar Rp 13 triliun.
Baca juga:
Mahfud Sebut Komitmen Presiden Jadi Harapan untuk Lawan Korupsi
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, terlepas dari terungkapnya sejumlah kasus korupsi besar baik oleh KPK maupun Kejagung, setahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil konkrit.
Isnur menilai upaya KPK masih lemah. Dalam pengusutan kasus korupsi kuota haji, misalnya, KPK hingga sekarang belum menetapkan tersangka. Sedangkan Kejagung justru banyak melakukan kesalahan dalam penanganan kasus besar.
Kejagung, katanya, pengungkapan mega korupsi tak dibarengi dengan tuntutan hukuman maksimal di pengadilan. “Korupsi tetap marak, tapi hukuman bagi pelaku tidak maksimal. Janji antikorupsi belum terbukti,” ungkapnya.
Baca juga:
Prabowo Ancam Para Jenderal Baking Tambang Ilegal
Pergantian Kapolri dan R-KUHAP
Yusuf Sahide juga menggarisbawahi kepemimpinan era Prabowo dalam setahun terakhir mestinya juga menjadikan pemberantasan judi online, mafia tambang dan Narkoba sebagai skala prioritas. Di mana ranah itu ada di Kepolisian RI.
Namun, ucapnya, Polri seakan tidak mampu memberantas judol, mafia tambang, dan narkoba. Kasus judol yang diduga melibatkan Mantan Menteri Koperasi dan Ketua Umum Relawan Pro Jokowi Budi Arie Setiadi, misalnya, Polri terlihat tidak menindaklanjutinya lebih jauh. Padahal, nama Budi Arie secara terang-terangan disebutkan di pengadilan.
“Karena itu, kami meminta Presiden Prabowo agar menyegerakan pembentukan Komite Reformasi Polri, karena institusi ini menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum,” paparnya.
Yusuf juga mendorong agar Presiden Prabowo melakukan pergantian Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Selain sudah terlampau lama menjabat, kurang lebih 4 tahun 8 bulan, juga ada begitu banyak persoalan di era kepemimpinnya, salah satunya aksi massa yang berujung kerusuhan massal di sejumlah daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 lalu.
“Pak Prabowo harus berani mengambil langkah ini untuk kebaikan bangsa, berani mengamputasi pejabat-pejabat yang menjadi pembantu presiden yang dianggap bermasalah berdasarkan penilaian publik,” ujarnya.
Baca juga:
Prabowo Setujui Pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian
Hal sama disampaikan Isnur. Pihaknya, menyoroti masih maraknya situs judol, dan peredaran Narkoba. Ia pun menduga ada oknum Kepolisian yang melindungi bisnis ilegal tersebut.
“Sudah menjadi rahasia umum kalau sejumlah oknum kepolisian melindungi dua bisnis haram tersebut,” paparnya.
Isnur juga menyoroti upaya DPR dan Pemerintah membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) yang dinilai memperkuat kewenangan polisi dan dianggap berpotensi melahirkan praktik sewenang-wenang.
Menurut Isnur, RKUHAP memberikan kewenangan besar kepada penyidik Polri karena ditetapkan menjadi Penyidik Utama yang membawahi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu. Ketentuan Polri sebagai Penyidik Utama tercantum dalam Pasal 6 ayat 2, draf R-KUHAP.
“Ketentuan ini menjadikan Polri sebagai lembaga “super power”. Seharusnya KUHAP memperkuat pengawasan dan check and balance, ya, bukan menambah kewenangan seperti ini. Karena makin besar kewenangannya, semakin sulit mengawasi oleh kelembagaan,” kata Isnur.
Baca juga:
Presiden Prabowo Dorong Reformasi Hukum yang Berpihak pada Rakyat Kecil
Selain itu, dia menjelaskan dalam Pasal 7, PPNS di berbagai lembaga negara diawasi dan dikoordinasikan oleh Polri sebagai Penyidik Utama. Termasuk, kata dia, PPNS juga wajib meminta persetujuan Penyidik Utama jika melakukan upaya paksa.
“Hal ini akan menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis dan bertentangan dengan prinsip koordinasi fungsional, supervisi penuntut umum, serta pengawasan pengadilan,” papar Isnur.
Pengembalian uang korupsi
Catatan berbeda disampaikan Sandy Pramuji Senior Analyst NEXT Indonesia Center. Sandy menyampaikan, komitmen pemberantasan korupsi yang sering digaungkan Presiden Prabowo ditunjukkan dengan penindakan terhadap lebih dari 40 kasus korupsi sepanjang satu tahun terakhir, baik oleh Kejagung maupun KPK.
“Pemberantasan korupsi ini penting untuk menyelamatkan uang negara dari para garong rakus agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak,” katanya.
Sandy mengungkapkan, kerugian yang terjadi akibat tindak pidana korupsi sepanjang setahun Kabinet Merah Putih mencapai Rp320,4 triliun. Kasus terbesar yang berhasil diungkapkan aparat penegak hukum pada periode ini adalah korupsi tata kelola minyak mentah di lingkungan kelompok usaha PT Pertamina (Persero) yang terjadi pada periode 2018-2023, yang diduga merugikan negara lebih dari Rp285 triliun.
“Selama setahun terakhir, aparat penegak hukum berhasil mengembalikan uang negara senilai Rp1,7 triliun dari para terpidana kasus korupsi. Nilai tersebut berasal dari rampasan hasil korupsi, lelang barang rampasan, dan penguasaan kembali kawasan hutan,” papar Sandy.
Baca juga;
Prabowo Saksikan Penyerahan Uang Pengganti Kasus Korupsi CPO di Kejagung
Kebebasan Pers dan Demokrasi
Sorotan lainnya satu tahun pemerintahan Prabowo terkait kebebasan pers dan berpendapat. Yusuf Sahide menyampaikan, Indonesia telah melalui transisi pasca reformasi lebih dari 25 tahun. Karenanya, era keterbukaan informasi, transparan dan akuntabilitas publik menjadi sangat penting.
“Dibutuhkan suporting yang sebesar-besarnya baik jaminan hukum dan keamaan dari Pak Presiden kepada jurnalis dan media pers untuk mengawal Asta Cita,” paparnya.
Demikian halnya dengan kebebasan berpendapat, menurut Yusuf, Presiden Prabowo hendaknya membuka ruang hak dasar warga negara sebagaimana amanat UUD 1945. “Jangan ada lagi aktivis mahasiswa, aktivis LSM, dan warga yang dikriminalisasi karena menyuarakan pendapatnya,” ucap Yusuf.
Isnur sendiri mengingatkan akan meningkatnya aksi represi yang dilakukan Kepolisan terhadap aksi-aksi masyarakat sipil. Misalnya, tercatat lebih dari seribu orang terluka dan 900 orang dijadikan tersangka akibat kekerasan aparat saat demonstrasi pada Agustus-September 2025.
“Demonstrasi adalah hak, bukan kejahatan. Negara harus melindungi, bukan menangkapi. Aksi represif ini masih sering dilakukan Kepolisian dan menjadi catatan merah,” ucap Isnur.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















