Ketika Presiden Prabowo Subianto berkata, “Tidak ada korupsi yang tidak bisa diselidiki. No more untouchable,” publik seolah mendengar gema lama dari cita-cita yang terus diulang sejak reformasi. Hukum harus tajam ke atas, bukan hanya ke bawah.

Kalimat itu singkat, tapi mengguncang kesadaran nasional. Ia membawa janji tentang keadilan yang sejati, bahwa tidak boleh ada lagi tembok kekuasaan yang melindungi pelaku korupsi, siapa pun dia, di posisi apa pun ia berdiri.

Namun pengalaman panjang bangsa ini mengajarkan bahwa setiap janji besar selalu datang bersama kewaspadaan. Di negeri yang terbiasa dengan jargon antikorupsi, publik tahu betul betapa tipis jarak antara komitmen dan kepura-puraan.

Pernyataan seperti itu, meski membangkitkan harapan, juga menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah ini awal dari sebuah perubahan nyata, atau sekadar retorika yang berumur pendek, seperti banyak janji sebelumnya yang menguap di ruang sidang dan jumpa pers?

Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan itu dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin, 20 Oktober 2025. Ia menegaskan tidak akan ada lagi yang kebal hukum, dan pemerintah berkomitmen mengusut seluruh kasus korupsi tanpa pandang bulu.

Ia juga menyebut adanya upaya penyelamatan keuangan negara hingga Rp1.000 triliun, serta penghentian praktik tambang ilegal dan penguasaan lahan tanpa izin. Dari segi politik, ini adalah pernyataan kuat yang menegaskan citra kepemimpinan tegas. Dari segi moral, ini adalah pernyataan yang menyentuh jantung keadilan sosial. Sesuatu yang selalu ditunggu rakyat.

Namun sejarah menulis banyak kisah tentang bagaimana kalimat-kalimat keras seperti itu akhirnya tumbang oleh kepentingan dan kompromi. Publik Indonesia tidak kekurangan alasan untuk skeptis.

Rakyat sudah berkali-kali menyaksikan bagaimana hukum sering menjadi alat politik, bukan alat keadilan. Banyak kasus besar berhenti di tengah jalan, pelaku di lingkar kekuasaan menghilang dalam senyap, dan lembaga penegak hukum terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Bahkan lembaga yang dulu menjadi simbol harapan seperti KPK, kini pun diragukan independensinya.

Karena itu, kalimat no more untouchable bisa dibaca sebagai dua hal sekaligus: panggilan moral untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan ujian kejujuran bagi kekuasaan yang mengucapkannya.

Sebab yang akan diuji bukanlah keberanian menindak lawan politik, tetapi keberanian menegakkan hukum kepada mereka yang paling dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat akan melihat, apakah kata-kata itu tetap berlaku ketika yang diselidiki adalah teman satu barisan, kolega satu partai, atau bahkan sekutu dalam kabinet.

Untuk benar-benar menghapus ‘yang tak tersentuh’ dibutuhkan lebih dari sekadar semangat. Ia menuntut keberanian membangun sistem hukum yang independen, aparat yang bebas dari tekanan politik, dan mekanisme transparansi yang membuat setiap proses bisa diawasi publik.

Penegakan hukum tanpa perlindungan bagi pelapor dan saksi hanya akan menjadi formalitas. Korupsi tidak akan hilang bila sistem birokrasi masih memberi ruang bagi kolusi dan pembiaran.

Yang lebih mendasar lagi, pemberantasan korupsi bukan hanya tindakan reaktif, tapi perubahan budaya, dari ruang rapat kementerian hingga meja kelurahan, dari proyek triliunan hingga pungutan sepele di jalanan.

Secara simbolik, Prabowo ingin mengirim pesan bahwa ia memegang kendali penuh atas pemerintahan dan birokrasi, dan tak segan menindak penyimpangan. Tapi simbol kekuasaan tidak cukup. Karena di negeri ini, keadilan sering kali berhenti di pintu istana.

Jika semangat no more untouchable hanya berhenti sebagai retorika politik, publik akan cepat kehilangan kepercayaan. Sebaliknya, bila benar-benar dijalankan secara konsisten, maka ini bisa menjadi momentum penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, saat hukum akhirnya menembus dinding kekuasaan.

Korupsi adalah kejahatan yang paling sunyi sekaligus paling menghancurkan. Ia tak selalu menimbulkan darah, tapi merampas masa depan jutaan orang. Ia membusukkan birokrasi dari dalam dan mengubah kesetiaan aparatur negara menjadi transaksi.

Karena itu, melawannya bukan sekadar menangkapi pelaku, tetapi menegakkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian melawan kawan sendiri ketika salah. Itulah inti dari no more untouchable. Bukan sekadar menakuti, tetapi memulihkan moralitas kekuasaan.

Bangsa ini sudah jenuh dengan kata-kata. Yang ditunggu kini adalah tindakan. Jika Presiden Prabowo benar-benar menepati ucapannya, maka sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang memulihkan wibawa hukum dan menutup bab lama korupsi yang tak tersentuh. Namun jika tidak, maka kalimat itu akan bergabung dengan daftar panjang slogan antikorupsi yang tinggal kenangan.

Ujian integritas telah dimulai. Yang ditunggu rakyat bukan siapa yang berani bicara, tapi siapa yang berani menindak. Sebab dalam negara yang adil, tidak ada yang kebal hukum, bahkan terhadap kata-kata sendiri.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto