Sejumlah siswa menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 162 Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan data dari BGN Sumatera Selatan, per 6 Oktober 2025 realisasi penerima manfaat MBG di Provinsi tersebut mencapai 1.174.645 orang penerima manfaat dari target yang ditetapkan sebear 2.402.446 orang potensi penerima manfaat dengan total jumlah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berdiri sebanyak 390 dapur dari target yang ditetapkan sebanyak 808 dapur SPPG dan ditargetkan dapat terpenuhi hingga akhir tahun 2025. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Sejumlah siswa menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 162 Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan data dari BGN Sumatera Selatan, per 6 Oktober 2025 realisasi penerima manfaat MBG di Provinsi tersebut mencapai 1.174.645 orang penerima manfaat dari target yang ditetapkan sebear 2.402.446 orang potensi penerima manfaat dengan total jumlah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berdiri sebanyak 390 dapur dari target yang ditetapkan sebanyak 808 dapur SPPG dan ditargetkan dapat terpenuhi hingga akhir tahun 2025. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU

Jakarta, Aktual.com – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sejumlah program prioritas bidang kesehatan masih memerlukan banyak evaluasi dan perbaikan.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai munculnya program hasil terbaik cepat (quick wins) justru berpotensi mendisrupsi program kesehatan yang selama ini telah berjalan dengan cukup baik, jika tidak ada upaya penyelarasan.

CISDI menyoroti antara lain program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Cek Kesehatan Gratis (CKG). Kedua program unggulan Presiden Prabowo tersebut menelan anggaran jumbo dan menyasar puluhan juta penerima manfaat dalam kurun waktu satu tahun pertama.

Hingga 22 Oktober 2025, CISDI mencatat sebanyak 11.585 kasus keracunan makanan telah terjadi di puluhan kabupaten/kota di 24 provinsi. Namun, hingga kini pemerintah belum menerbitkan Peraturan Presiden yang komprehensif untuk memperbaiki tata kelola MBG dan mencegah berulangnya kasus keracunan.

“Program MBG dan CKG perlu target yang lebih realistis, dengan pendekatan bertahap dan menimbang keberagaman masyarakat Indonesia yang disebabkan faktor geografis, etnis, maupun tingkat sosial-ekonomi, serta keterbatasan fiskal,” kata Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih, Jumat (24/10/2025).

Diah mengatakan, pelaksanaan MBG belum memenuhi kualitas intervensi gizi. Masifnya penggunaan pangan ultra-olahan (ultra-processed food) berbenturan dengan program peningkatan gizi yang telah dijalankan Kementerian Kesehatan, seperti program Pemberian Makanan Tambahan.

Adapun belum terpenuhinya standar keamanan pangan dalam program MBG berdampak pada maraknya kasus keracunan.

Kembalinya paradigma ‘4 Sehat 5 Sempurna; dengan masuknya susu berperisa tinggi gula, susu formula, hingga makanan pendamping ASI (MPASI) kemasan dalam menu MBG juga menjadi catatan CISDI.

Padahal, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Pedoman Gizi Seimbang sebagai acuan kebutuhan gizi harian seimbang dan berbasis pada potensi sumber pangan lokal sejak 2014.

“Memasukkan susu formula dan produk MPASI kemasan ke dalam panduan menu MBG jelas bertentangan dengan Pasal 33 dan 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang masuknya produk dari produsen dan distributor susu formula ke dalam kegiatan pelayanan masyarakat, termasuk intervensi gizi,” kata Diah.

Aspek lain adalah ketentuan baru Badan Gizi Nasional tentang pelibatan kader kesehatan dalam program MBG. Menurut Diah, kader kesehatan selama ini sudah diharuskan menguasai 25 keterampilan dasar. Kini mereka juga mesti mendistribusikan paket makanan MBG dari posyandu kepada kelompok sasaran, yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan balita tanpa pengaturan insentif yang jelas.

“Kami mendapati laporan di lapangan, kader kesehatan harus mengantarkan makanan kering yang tidak sesuai pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA). Selain itu, kader kesehatan tidak dibekali informasi tentang menu MBG yang dibagikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan balita,” kata Diah.

Sementara itu, kader kesehatan di Indonesia masih dilihat sebagai relawan, sebagian besar di antaranya dibayar rendah, namun terus diberi beban kerja dan persyaratan pemenuhan kompetensi. Karena itu, perlu dipastikan kembali beban kerja dan mekanisme pemberian insentif layak kepada kader kesehatan.

Sementara untuk CKG, CISDI menilai program ini berpotensi meningkatkan jangkauan layanan kesehatan primer melakukan pencatatan dan pelaporan kasus penyakit menular. Namun, pelaksanaan CKG perlu menimbang keberlanjutan layanan.

“CKG sebaiknya tidak hanya diposisikan sebagai pendekatan promotif dan preventif untuk mendeteksi dini penyakit tidak menular hingga tuberkulosis (TB) dengan memastikan keberlanjutan layanan atau perawatan penyakit berisiko (continuum of care), seperti layanan diabetes yang memerlukan perawatan yang panjang,” kata Diah.

Diah menambahkan, skrining kesehatan melalui CKG akan menghasilkan bank data yang berharga. Karenanya, pemanfaatan data CKG antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berlangsung transparan. “Data CKG yang terkumpul bisa dimaksimalkan untuk merencanakan layanan lanjutan di daerah, termasuk memetakan prioritas penyakit yang bisa dijangkau oleh faskes, dan diantisipasi BPJS Kesehatan berdasarkan beban biaya,” ujar Diah.

Jika CKG dijalankan dengan baik dan memadai, beban negara dalam menangani penyakit kronis dan berbiaya tinggi bisa berkurang. Program ini juga diharapkan dapat memantik kebiasaan setiap warga negara untuk memeriksakan kesehatan secara rutin.

Selain agenda prioritas yang bersifat programatik, pembangunan kesehatan juga tidak lepas dari komitmen fiskal dan politik terhadap kesehatan masyarakat. Kebijakan fiskal, seperti cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan peningkatan cukai rokok, perlu diarahkan sebagai instrumen pengendalian konsumsi untuk pencegahan risiko penyakit tidak menular.

Studi modeling CISDI pada 2024 menunjukkan Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun dari beban ekonomi akibat diabetes tipe 2 apabila menerapkan cukai MBDK dari 2024 hingga 2033. Riset CISDI pada 2025 menunjukkan kenaikan harga rokok sebesar 10 persen dapat mengurangi kemungkinan remaja mulai merokok sebesar 22 persen.

“Cukai harus ditempatkan sebagai instrumen pengendalian konsumsi MBDK dan rokok. Memberlakukan cukai MBDK maupun menaikkan cukai rokok menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen melindungi kesehatan masyarakat dari faktor risiko penyebab penyakit tidak menular,” kata Diah.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi