Jakarta, Aktual.com – Lembaga riset dan kajian GREAT Institute menemukan kepercayaan publik terhadap kebebasan berpendapat tetap kuat di bawah satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Temuan ini muncul meskipun terjadi penangkapan sekitar 9.000 demonstran dalam aksi berskala nasional pada Agustus 2025 di berbagai daerah.
Direktur Eksekutif GREAT Institute, Anto Sudarto, menyatakan bahwa hasil survei tersebut memperlihatkan paradoks menarik antara kebebasan sipil dan stabilitas politik nasional. “Publik tetap menilai kebebasan berpendapat berjalan baik, meskipun ada peningkatan penindakan aparat,” ujanya dalam konferensi pers bertajuk “Pergeseran Paradigma: Membawa Optimisme dan Catatan Kritis”, di kawasan Gunawarman, Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).
Anto menyebut, publik tidak secara langsung mengaitkan peristiwa penangkapan tersebut dengan kebijakan Presiden Prabowo. Ia menambahkan, “Dalam survei kami, dua lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab adalah DPR dan Polri, bukan Presiden”.
Menurutnya, DPR dan Polri menjadi dua lembaga yang paling disorot publik atas gelombang protes tersebut. “Publik menilai DPR tidak menunjukkan empati terhadap aspirasi rakyat, sementara Polri dianggap bereaksi berlebihan dalam menangani aksi di lapangan,” ucap Anto.
Di sisi lain, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional masih berada di kisaran 85,8%. Hal ini menunjukkan publik tetap memberikan legitimasi politik kuat terhadap langkah-langkah Prabowo dalam menjaga stabilitas nasional.
Dalam penelitian yang dilakukan, GREAT Institute menggunakan pendekatan komunikasi krisis untuk memahami pola atribusi publik terhadap peristiwa sosial-politik. “Kami menemukan bahwa publik menilai Presiden Prabowo merespons situasi dengan tenang dan terukur tanpa dianggap membatasi aspirasi rakyat,” katanya.
Ia menilai, persepsi tersebut muncul karena masyarakat mulai memisahkan antara tindakan aparat dan arah kebijakan pemerintah pusat. Publik lebih melihat peran Prabowo sebagai figur yang menjaga keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban publik.
Sebelumnya, penangkapan besar-besaran pada 25–29 Agustus 2025 terjadi menyusul unjuk rasa nasional yang awalnya merupakan luapan kekecewaan masyarakat terhadap anggota DPR yang dianggap tidak empatik. Ketidakpuasan itu kemudian meluas menjadi kemarahan terhadap kepolisian yang menindak para demonstran secara masif.
Aksi demo menimbulkan korban di kedua sisi, baik demonstran maupun aparat, di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Medan. Sekitar 9.000 demonstran, mayoritas mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi, ditangkap selama gelombang penindakan aparat.
Peristiwa tersebut sempat menimbulkan kekhawatiran publik terhadap arah kebebasan sipil di bawah pemerintahan baru. Namun, hasil riset GREAT Institute menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menilai tindakan aparat tidak sepenuhnya mencerminkan sikap Presiden, melainkan bentuk krisis komunikasi antar lembaga negara.
Tutupnya, ia menegaskan demokrasi Indonesia masih berada pada jalur yang kuat dan adaptif terhadap tekanan politik. “Kepercayaan publik terhadap kebebasan berpendapat menjadi bukti bahwa masyarakat tetap optimistis terhadap arah pemerintahan Prabowo ke depan,” simpul Direktur Eksekutif GREAT Institute tersebut.
(Nur Aida Nasution)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















