Jakarta, aktual.com – Pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional menuai penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk kalangan mahasiswa. Mereka menilai langkah tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan konstitusi, mengingat banyaknya kejahatan kemanusiaan, pembungkaman suara kritis, serta menguatnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selama masa pemerintahannya.

Tahun ini, bersama 39 nama lainnya, Soeharto diajukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) kepada Presiden untuk dipertimbangkan menerima gelar pahlawan nasional.

Sementara itu, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) mengusulkan 49 nama, dengan 24 di antaranya masuk dalam daftar prioritas.

Ketua GTK, Fadli Zon, menyampaikan bahwa sembilan nama calon telah dikaji dan diusulkan pada tahun-tahun sebelumnya, sementara 40 lainnya merupakan usulan baru tahun ini.

Penetapan penerima gelar pahlawan nasional dijadwalkan akan diumumkan pada 10 November, bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan.

Menolak Lupa Dosa Pemerintahan Otoriter Soeharto

Deodatus Sunda Se, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC-GMNI) Jakarta Selatan secara tegas menyatakan penolakannya.

Ia menilai Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan karena telah melakukan banyak pengkhianatan terhadap rakyat dan konstitusi.

“Dosa pertama,” ujarnya, “adalah membunuh sosio-demokrasi, baik dalam politik maupun ekonomi.”

Selama Orde Baru, rakyat justru dipinggirkan dengan pembatasan kebebasan berpikir dan berserikat atas nama stabilitas nasional.

Demokrasi dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat.

Lebih lanjut, Deodatus menjelaskan bahwa pembunuhan sosio-demokrasi juga tampak dalam bidang ekonomi.

Kekayaan nasional diprivatisasi demi kepentingan segelintir elit dan kroni, sementara ekonomi rakyat disingkirkan, tanah dirampas, dan buruh dijadikan alat produksi murah untuk kepentingan modal besar.

Selain itu, Soeharto mereduksi makna nasionalisme menjadi sekadar bentuk kepatuhan kepada negara dengan dalih persatuan dan pembangunan yang bersifat top-down, sentralistik, dan militeristik.

“Semangat kebangsaan kehilangan jiwa sosialnya dan berubah menjadi ideologi pengendalian,” katanya.

Ia menegaskan bahwa nasionalisme sejati, sebagaimana dirumuskan Soekarno, adalah nasionalisme yang membebaskan rakyat dengan menolak segala bentuk penindasan (sosio-nasionalisme).

Menurutnya, dosa lain Soeharto adalah pembantaian massal terhadap kaum Marhaen (petani, buruh, seniman, guru, dan rakyat kecil lainnya) yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Inilah kejahatan kemanusiaan dan luka kolektif terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia modern yang dilakukan dan dibiarkan oleh negara,” ujarnya.

Direktur Institut Marhaenisme 27 itu menambahkan bahwa kekerasan menjadi pola berulang sepanjang rezim Orde Baru.

Demonstrasi mahasiswa menolak penanaman modal asing dibalas dengan represi brutal dalam Tragedi Malari (1974).

Pada dekade 1980-an, penembakan misterius (Petrus) menewaskan ribuan warga tanpa proses hukum, diikuti oleh Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989).

Sementara itu, ribuan nyawa melayang dalam insiden Santa Cruz di Timor Leste (1991). Di Aceh dan Papua, kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) menyebabkan banyak korban sipil tewas.

Bahkan menjelang akhir kekuasaan Soeharto, aparat militer menembaki mahasiswa dalam Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II pada 1998.

Ratusan aktivis pro-demokrasi juga diculik dan disiksa; sebagian tidak pernah kembali.

“Itu menunjukkan wajah negara yang tak segan membunuh rakyatnya sendiri atas nama ketertiban,” kata Deodatus.

Ia menambahkan, semua itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam sistem politik yang sengaja dibuat otoriter.

Ruang politik kampus dimatikan melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sementara pers dibungkam lewat pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

“Ruang publik berubah menjadi panggung monolog kekuasaan, dan rakyat didorong untuk diam karena diam berarti aman,” katanya.

Dosa lainnya, lanjut Deodatus, adalah memutarbalikkan Pancasila dan mengkhianati konstitusi UUD 1945.

Pancasila dijadikan alat legitimasi kekuasaan tunggal melalui indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).