Hidayat Nur Wahid (HNW) memaparkan pentingnya optimalisasi peran pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat pada Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara di Jakarta.. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) An-Nuaimy menggelar Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara bertajuk “Mengokohkan Peran Dakwah Pesantren melalui Penguatan Organisasi dan Program, Menjemput Indonesia Emas 2045”, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025).

Dalam paparannya, Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan bahwa pesantren memiliki tiga fungsi utama, yakni pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

“Kalau hanya fungsi pendidikan, cukup dikelola oleh Direktorat Pendidikan Islam. Namun karena pesantren juga memiliki fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sebagaimana ketentuan dalam UU Pesantren, maka perlu ada peningkatan status, kewenangan dan anggaran dari sebelumnya (Direktur) yakni Direktorat Jenderal Pesantren,” ujarnya.

HNW menjelaskan, pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama telah disetujui Presiden menjelang peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. Ia berharap lembaga baru tersebut tidak tumpang tindih dengan Direktorat Pendidikan Islam, serta benar-benar dapat memperkuat peran pesantren, bukan justru mengontrol secara berlebihan yang malah merepotkan dunkia Pesantren.

Selain itu, Dirjen Pesantren diharapkan memperjuangkan hak-hak pesantren sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pesantren, termasuk pengelolaan dana abadi pesantren, serta memastikan perlakuan adil terhadap seluruh jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren yaitu Pesantren tradisional (salafiyah), modern (mu‘adalah), dan terpadu.

“Kita pernah menolak rencana revisi Undang-Undang Pesantren karena hanya mengakui satu jenis pesantren. Padahal realitas di lapangan Pesantren sangat beragam, dan semuanya berkontribusi penting bagi bangsa,” tegasnya.

Ia juga menilai tema diskusi kali ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pesantren yang menempatkan fungsi dakwah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan pesantren.
Dalam konteks dakwah, pesantren juga memiliki peran pembinaan masyarakat dan penguatan karakter.

Hal itu kata dia, sejalan dengan kebijakan Kementerian Agama tentang Kurikulum Pesantren Ramah Anak, yang menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan. Namun, HNW menegaskan bahwa “ramah” bukan berarti tanpa kedisiplinan.

“Pesantren justru unggul karena disiplin dan pembinaan akhlak melalui keteladanan para kiai dan ustaz,” ujarnya.

Ia menyoroti berbagai kasus kekerasan di lembaga pendidikan sebagai pelajaran penting agar pesantren terus memperkuat fungsi pendampingan psikologis dan pembinaan moral. HNW juga mengingatkan bahwa pesantren memiliki peran historis dalam perjuangan bangsa.

“Sejak masa perumusan BPUPK, tokoh-tokoh dari NU, Muhammadiyah, dan PUI, bahkan yang dari Partai2 Islam seperti Syarekat Islam, Penyadar, Partai Islam Indonesia, Masyumi, semua para Kiyai dan Santri yang berakar dari pesantren, dan mereka masing2 telah berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahanakn kemerdaan Indonesia,” ujarnya.

Peran pesantren juga tampak dalam berbagai momentum penting, seperti Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Amanat Jihad 1946, hingga Perjuangan PDRI dan pengembalian Indonesja menjadi NKRI yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan M Natsir, tokoh dari Partai Islam Masyumi.

“Karena itu, santri masa kini harus ikut mempersiapkan masa depan bangsa menuju Indonesia Emas 2045 dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa jika ingin melihat nasib sebuah bangsa 20 tahun mendatang, lihatlah apa yang dikerjakan bangsanya 20 tahun sebelumnya.

“Karenanya apa yang kita lakukan hari ini, termasuk memperkuat peran pesantren, akan menentukan seperti apa wajah Indonesia tahun 2045,” pungkasnya.