Jakarta, Aktual.com – Pencemaran radiasi nuklir di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande, Serang, Banten, mengulangi kejadian serupa di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, pada 2020 lalu.
Perbedaannya, kasus di Cikande berawal dari temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) terhadap produk udang beku.
Sementara, kasus di Serpong bermula dari Badan Pengawas Teknologi Nuklir (Bapeten) yang melakukan pengujian rutin fungsi alat pemantau radiokatif di sejumlah wilayah di Tangsel.
Sejumlah kalangan menyampaikan, kedua kasus kontaminasi radiasi itu sama-sama menunjukkan lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap produk yang dihasilkan dari Nuklir. Kasus di Cikande ditemukan oleh negara lain, sedangkan kasus di Serpong diketahui usai limbah produk dibuang.
Baca juga:
Berawal dari Udang Beku, Bahaya Radiasi Nuklir Ancam Warga & Lingkungan
Poinnya, Pemerintah belum mampu mencegah bocornya produk nuklir di masyarakat karena lemahnya pengawasan. Kedua kasus itu seharusnya menjadi peringatan keras tentang lemahnya pengawasan bahan radioaktif yang beredar di Indonesia.
Lemahnya Pengawasan Penggunaan Zat Radioktif
Peneliti senior nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot Sulistio Wisnubroto menyampaikan, Pemerintah sudah memiliki regulasi tentang sistem keselamatan dan keamanan zat radioaktif.
Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Peraturan Pemerintah Nomor 45/2023 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Zat Radioaktif.
Namun, kata guru besar teknik nuklir ini mengungkapkan, persoalan utama lemahnya pengawasan dari produk nuklir adalah implementasi dan koordinasi lintas kementerian/lembaga.
Djarot mengakui situasi penanganan bocornya Cesium-137 (Cs-137) seperti ‘pemadam kebakaran’. Menurutnya, belum ada sistem pengawasan yang bisa mencegah bocornya produk nuklir di tengah masyarakat.
Mantan Kepala Bapeten ini menyampaikan, hampir di tiap kementerian/lembaga sudah punya aturan sendiri mengenai sistem keselamatan dan keamanan zat radioaktif. Misalnya, terkait udang beku ada BPOM, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Baca juga:
9 Warga Cikande Terpapar Radioaktif CS-137
Ia melanjutkan, penanganan paparan radiasi tanggung jawabnya ada di Bapeten dan BRIN. Terkait keluar masuk barang berada di bawah Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
“Kemudian masalah lingkungan, ada KLH, ada Pemda sendiri. Kemudian masalah hukum ada polisi, dan lain sebagainya. Nah, itu memang kita tidak bisa mengatakan mereka harus ada komandan di satu, tidak,” katanya.
Menurut Djarot, pencegahan radiasi Cs-137 di Indonesia bermasalah karena ‘penyakit’ Pemerintah adalah koordinasi.
Adapun Kandidat Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB Randi Syafutra mengungkapkan, Indonesia tidak memproduksi Cs-137. Seluruh sumbernya merupajan impor dan berada di bawah pengawasan Bapeten.
“Artinya, rantai penyimpanan, distribusi, hingga pemusnahan seharusnya berada dalam kontrol yang ketat. Dua insiden besar di dalam negeri menunjukkan, sistem pengawasan bahan radioaktif masih memiliki lubang berbahaya,” ujar Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung ini.
Baca juga:
Kasus Pencemaran Radioaktif Cesium-137 di Cikande Naik ke Tahap Penyidikan
Sorotan dari Parlemen
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dalam pendeteksian bahan radioaktif di Indonesia. Ia menilai, kasus di Cikande seharusnya dapat diketahui lebih awal oleh lembaga dalam negeri tanpa harus menunggu laporan dari pihak asing.
“Kalau nggak karena dideteksi sama Amerika, kita juga nggak tahu. Berarti kan pengawasan kita lemah. Harusnya sudah ada deteksi dini, jadi jelas ada sistem yang harus kita perbaiki dalam hal ini,” tegas Evita di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Anggota Komisi VII DPR RI Rico Sia juga menilai persoalan ini menunjukkan perlunya peningkatan sistem pengelolaan dan pengawasan limbah industri agar tidak menimbulkan risiko kontaminasi radioaktif di masa depan.
“Seperti yang disampaikan pimpinan, pengawasan kita memang kurang. Dulu di sektor pertambangan, kolam-kolam limbah itu terhubung langsung dengan LHK untuk memantau kadar beracun dan logam berbahaya. Saya pikir sistem seperti itu perlu diterapkan lagi, bahkan secara real-time, agar tidak ada lagi kontaminasi yang justru ditemukan oleh pihak luar negeri,” ujar Rico
Sekretaris Fraksi PKS DP RI Johan Rosihan menyampaikan Indonesia ternyata belum memiliki mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut. Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu belum dilengkapi teknologi pendeteksi isotop berbahaya itu.
“Ini celah besar yang bisa meruntuhkan reputasi pangan laut kita. Dunia sedang mengawasi. Kalau pemerintah tidak transparan, kepercayaan pasar bisa lenyap dalam hitungan minggu,” kata Anggota Komisi IV DPR ini.
Karena itu, ucap Johan, menganggap kasus Cs-137 di Cikande sebagai insiden teknis semata adalah keliru. Menurutnya, pencemaran terhadap produk laut di Indonesia bukan cerita baru. Banyak wilayah pesisir berbatasan langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, atau pertambangan. Sistem pengawasan kualitas air di daerah pesisir pun masih minim.
“Lemahnya sistem traceability atau ketertelusuran produk juga memperburuk keadaan. Asal-usul produk, metode budidaya, hingga jalur distribusi sering tidak tercatat dengan baik. Saat terjadi kasus kontaminasi, penelusuran pun jadi mustahil,” paparnya.

Gagapnya Penanganan Pencemaran Radiasi
Selain adanya kelemahan pengawasan produk nuklir, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Yuyun Harmono, menilai pemerintah gagap saat menangani adanya temuan radiasi. Misalnya dari kasus di Cikande.
Yuyun menyayangkan sikap Pemerintah yang baru bertindak setelah ada temuan dari negara lain, sementara langkah pencegahan tak pernah diketahui publik.
“Jadi, tidak kemudian seperti sekarang ini, yang terkesan, kemudian gagap. Kalau ini tidak dibuka oleh media massa internasional, mungkin juga kita tidak akan menganggap itu salah satu isu,” katanya.
FDA mulai menyelidiki kontaminasi Cs-137 pada udang beku yang berasal dari Indonesia sejak 19 Agustus. Penarikan udang beku asal Indonesia di pasaran AS secara menyeluruh dilakukan 25 September.
FDA juga menemukan kontaminasi Cs-137 pada sampel cengkeh yang dikirim dari Indonesia. Produk ini masuk dalam import alert untuk kontaminasi kimia, per 18 September 2025.
Sementara Pemerintah baru bertindak di akhir September 2025, dengan membentuk Satuan Tugas Penanganan Radiasi Cesium-137. Ada selang waktu lebih dari satu bulan dari awal temuan hingga akhirnya Pemerintah mau serius menangani.
Menurut Randi, baik dalam kasus di Serpong maupun Cikande, publik mengetahui kejadian melalui media, bukan dari mekanisme peringatan resmi. Pola ini mengindikasikan lemahnya manajemen komunikasi risiko.
“Ketika informasi terlambat atau setengah-setengah, masyarakat bereaksi dengan kepanikan dan spekulasi. Rumor menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan kepercayaan publik menurun,” paparnya.
Randi menjelaskan, dalam pengelolaan bahan radioaktif, transparansi bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral. Informasi tentang tingkat paparan, lokasi terkontaminasi, dan tindakan perlindungan harus disampaikan secara jelas, akurat, dan tepat waktu. Ketertutupan hanya akan memperbesar ketakutan dan merusak reputasi pemerintah.
Kasus Pencemaran Radiasi di Dunia
Randi menyampaikan, Indonesia harus belajar dari kasus-kasus kecelakaan radiasi terbesar di dunia yang justru terjadi di luar fasilitas nuklir. Insiden Goiânia di Brasil pada 1987, menjadi salah satu yang paling mematikan.
“Kapsul Cs-137 dari mesin terapi kanker yang ditinggalkan terbuka dan bubuknya yang berpendar dikira “bahan ajaib” oleh warga. Empat orang meninggal dan 249 orang terkontaminasi. Kontaminasi meluas hingga ke pertanian dan pasar lokal,” paparnya.
Contoh lain terjadi di Kramatorsk, Ukraina, ketika kapsul kecil Cs-137 tertanam dalam dinding apartemen tanpa disadari selama sembilan tahun. Empat orang meninggal dan belasan lainnya terkena paparan tinggi. Kasus ini menunjukkan betapa berbahayanya sumber radiasi yang hilang atau tidak terinventarisasi.
“Tragedi besar seperti Chernobyl dan Fukushima memperlihatkan skala risiko yang lebih besar. Meski melibatkan banyak isotop, Cs-137 menjadi salah satu kontaminan utama dengan dampak jangka panjang pada tanah, ekosistem, dan kesehatan manusia,” ungkapnya.
Jepang kemudian melakukan reformasi besar dalam transparansi risiko, membuka data radiasi secara real time, dan memperkuat lembaga pengawas yang independen.
“Pembelajaran itu menegaskan, tata kelola adalah benteng utama dalam mencegah kepanikan dan menjaga kepercayaan publik,” ujarnya.
Reformasi Tata Kelola Pengawasan
Randi menyampaikan, tantangan terbesar pengawasan radiasi di Indonesia bukan keterbatasan teknologi, tetapi konsistensi tata kelola. Pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis di antaranya. Pertama, integrasi data sumber radiasi secara nasional dengan pelacakan real time lintas lembaga.
Kedua, inspeksi ketat dan rutin untuk fasilitas pengguna radiasi, dengan sanksi tegas bagi penyimpangan. Ketiga, pusat krisis radiasi terpadu sebagai lembaga koordinatif dengan fasilitas dekontaminasi permanen.
“Keempat, komunikasi risiko publik yang transparan, berbasis data yang mudah dipahami masyarakat. Kelima, edukasi publik dan pelibatan akademisi, sehingga masyarakat memahami risiko tanpa panik,” paparnya.
Menurut Randi, pengelolaan bahan radioaktif tidak boleh bergantung pada respons darurat semata. Sistem pencegahan, katanya, harus dibangun sekuat mungkin agar insiden tidak terulang di masa depan.
“Insiden Cs-137 adalah peringatan bahwa teknologi berisiko tinggi membutuhkan integritas yang sama tingginya. Reputasi Indonesia sebagai negara ekspor dan industri akan terus diuji apabila pengawasan bahan radioaktif tidak diperkuat,” ujarnya.
Sedangkan Djarot menyampaikan, ada tiga langkah untuk mencegah terjadi terjadinya kebocoran radiasi zat radioaktif di kemudian hari.
Pertama, pemasangan alat pemantau radiasi di berbagai pintu masuk dan keluar barang dari dalam dan luar negeri. Misalnya, pelabuhan dan bandara.
Menurut Djarot, keberadaan radiasi bukan hanya berasal dari barang luar negeri, tapi juga kemungkinan kebocoran pada alat yang mengandung zat radioaktif di dalam negeri.
“Itu mencegah di domestik juga. Saya tidak sepenuhnya menyatakan bahwa itu [benda sumber radiasi] asli dari luar negeri, seolah-olah yang salah itu luar negeri. Kemungkinan berasal dari dalam negeri kan juga bisa, besi bekas dan lain sebagainya,” katanya.
Kedua, membuat sistem pendataan yang tertelusur dan rinci terkait penggunaan sumber radioaktif di Indonesia.
Tanggung jawab ini, menurut Djarot, harus diemban Bapeten yang punya peran memberi izin dan pengawasan penggunaan perangkat industri yang menggunakan zat radioaktif. Misalnya pabrik kertas, logam, rokok hingga industri medis.
Djarot menyampaikan, Bapeten harus memastikan peralatan itu berizin dan tidak ada kasus hilang. Zat radioaktif yang ada di dalam peralatan tersebut sudah dibungkus secara aman. Jika bungkusnya rusak, hilang atau dilebur, maka kebocoran akan terjadi, kata Djarot.
“Kalau hilang itu jadi semacam sumber radioaktif yang tidak ada yang bertanggung jawab. Kemungkinan diambil orang yang tidak tahu bahwa itu ternyata sumber radioaktif, masuk ke tempat peleburan jadilah besi yang bisa dipakai, padahal itu mengandung sumber radioaktif,” ucapnya.
Djarot juga mendorong Bapeten untuk mengawal kontrak jual-beli peralatan yang mengandung zat radioaktif. Saat peralatan tersebut sudah rusak, maka harus dikembalikan ke negara asal. “Supaya tidak membebani menjadi limbah di Indonesia,” kata Djarot.
Ketiga, menurut Djarot, seluruh kementerian dan lembaga terkait harus menganggap serius persoalan kontaminasi sumber radioaktif. Menurutnya, tidak semua lembaga terkait punya ahli di bidang nuklir.
“Misalnya, perdebatan pengadaan alat pemantau radiasi yang harganya miliaran rupiah. Mungkin ada orang mengatakan mahal, tapi ketika kejadian, akan jauh lebih mahal,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















