Suasana demonstrasi warga Kabon Sayur di depan Balai Kota Jakarta, Senin (21/4/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

Jakarta, Aktual.com – Praktik mafia tanah yang terjadi di Indonesia tidak mengenal siapapun korbannya. Bukan hanya masyarakat biasa, artis, pengusaha, mantan pejabat negara, hingga yayasan keagamapun pun bisa menjadi korban dari praktik sertifikat ganda, ataupun penjualan aset tanpa izin pemilik sah.

Seperti dialami Yayasan Raudhatul Muta’alimin yang beralamat di Kuningan Barat II No. 21, RT.003 RW 02, Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Yayasan ini merupakan pemilik tanah wakaf dengan Sertifikat Wakaf Nomor: 1, dengan tanah seluas 20.000 M², yang terletak di Desa Cibunar Jaya, Kecamatan Ciambar, Sukabumi, Jawa Barat.

Tanah wakaf itu dijual sejumlah oknum tanpa sepengetahuan pengurus yayasan demi proyek pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) I. Pembebasan lahan telah dilakukan sejak 13 September 2017, namun hingga kini belum ada keterangan kapan proses tukar guling atau penggantian lahan terealisasi.

Celah UU dan Aturan Turunan

Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Atqo Darmawan Aji, menyoroti akar persoalan dalam kasus mafia tanah yang terjadi dalam sengketa pertanahan di Indonesia. Menurutnya, praktik tersebut tidak lepas dari transisi hukum agraria yang belum tuntas dan masih menyisakan ruang abu-abu dalam pengaturan hak atas tanah.

“Masih ada tumpang tindih alas hak di masyarakat yang menciptakan ketidakpastian hukum,” ujarnya ketika dihubungi Aktual.com.

Atqo menjelaskan, banyak tanah di Indonesia belum terkonversi dari sistem hukum kolonial ke sistem hukum nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA). Tanah-tanah yang masih berstatus Eigendom Verponding, kata dia, memiliki kekuatan hukum yang lemah dibandingkan sertifikat resmi.

Baca juga:

Praktik Mafia Tanah sampai Kiamat, Rakyat Bisa Apa?

“Ini membuka celah bagi mafia tanah untuk melancarkan aksinya,” katanya.

Ia menambahkan, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap prosedur peralihan hak atas tanah turut memperparah situasi. Menurutnya, ketidaktahuan warga dalam mengurus konversi atau sertifikasi membuat mereka rentan terhadap penggusuran dan klaim sepihak.

“Mafia tanah masih ada sampai sekarang karena masyarakat belum paham prosedur, dan negara belum hadir secara aktif,” tegasnya.

Menanggapi praktik penggusuran yang kerap terjadi tanpa prosedur resmi, Atqo menyebut hal itu sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Ia menekankan, eksekusi lahan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atas perintah pengadilan.

“Penggusuran tanpa surat peringatan, musyawarah, atau putusan pengadilan menunjukkan lemahnya pengawasan. Lebih parah jika melibatkan pejabat yang berwenang,” ujarnya.

Senada, Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menyampaikan adanya celah hukum terkait pertanahan menjadi salah satu faktor tumbuh suburnya praktik mafia tanah.

“UU Pokok Agraria 1960 sudah using. UU ini berusia lebih dari 60 tahun. Banyak norma sudah tidak operasional dan tidak mengikuti perkembangan digitalisasi tanah. UU PA juga tidak mengatur skema pencegahan dari mafia tanah modern,” papar Toha.

Selain celah UU, politisi PKB ini juga mengungkapkan kekurangan pada aturan turunannya. Ia menyebut banyaknya aturan turunan soal pertanahan menyebabkan saling tumpang tindih.

“Ada puluhan aturan turunan, seperti PP Pertanahan, Permen ATR/BPN, SK Menteri, Peraturan daerah, dan Peraturan sectoral di kehutanan, pertanian, pertambangan, serta tata ruang,” ucapnya.

Massa dari Bakornas LKBHMI PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Selasa (25/10/2022). . ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp
Massa dari Bakornas LKBHMI PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Selasa (25/10/2022). . ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp

Salah satu yang menonjol adalah tumpang tindihnya kewenangan antar instansi dalam menerbitkan penggunaan izin tata ruang dan wilayah, seperti klasifikasi tanah negara, kawasan hutan, dan kawasan adat sering tidak jelas.

“Belum lagi tabrakan soal rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) dengan realitas permukiman yang ada. Celah hukum di UU dan tabrakannya aturan turunan dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengklaim tanah yang bukan haknya,” ujar Toha.

Anggota Komisi II DPR RI, Ujang Bey mengungkapkan modus praktik mafia tanah selama ini. Mereka, awalnya mencari titik lemah dari aturan pertanahan, lalu menggugatnya di pengadilan.

Modus operandi mencakup pemalsuan dokumen, manipulasi sertifikat, kolusi dengan oknum desa dan notaris, serta penggunaan gugatan pengadilan sebagai alat tekanan.

“Dukungan finansial yang kuat memungkinkan mafia tanah melakukan perlawanan sengketa di pengadilan sampai tingkat paling tinggi dengan lebih mudah,” ungkapnya.

Ulah Oknum Aparat

Sementara itu, Pengamat sosial-politik Muhammad Said Didu menilai, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merupakan salah satu faktor praktik mafia tanah masih terjadi.

“Saya menyatakan mohon maaf pejabat-pejabat ATR/BPN yang baik. Saya berpendapat bahwa kantor Anda itu adalah kantor koordinator mafia tanah,” ujar Said Didu, dalam konferensi pers di depan gedung Mahkamah Agung, Selasa (18/11/2025).

Berdasarkan pengalaman 32 tahun berperkara melawan mafia tanah, Said Didu mengungkapkan modus yang bisa digunakan para mafia tanah. Pertama, pemilik modal atau mereka yang menginginkan tanah, Said menyebutnya oligarki, akan meminta mafia tanah membuat surat kepemilikan palsu dengan bekerja sama Kementerian ATR/BPN

“Mereka akan menciptakan ‘pemilik palsu’ pertama. Lalu, membuat ‘pemilik palsu kedua’ melalui perusahaan tertentu, dan mengklaim sebagai kuasa hukum. Oligarki akan membeli tanah dari pemilik palsu kedua. Kemudian, Kementerian ATR/BPN menerbitkan sertifikat hanya berdasarkan jaminan direktur perusahaan ‘pemilik kedua’,” paparnya.

Biasanya, kata Said, oligarki akan menjadikan dirinya seolah-olah sebagai ‘korban’ dan membuat pemilik tanah asli sebagai mafia tanah.

Ia juga menyindir gaya komunikasi Menteri ATR/BPN yang menyatakan mafia tanah akan tetap ada hingga Hari Kiamat, dan mafia tanah tidak akan bisa beroperasi bila aparat ATR/BPN tidak tergoda. Menurutnya, pernyataan itu sebagai sinyal untuk meminta para pihak yang bersengketa tanah untuk datang menghadap kepadanya bila ingin urusannya kelar.

“Saya 32 tahun di birokrasi, pernyataan seperti itu adalah pernyataan menyatakan datanglah kau menghadap kepadaku. Itulah namanya pejabat penjual pedagang kewenangan,” ujarnya.

Mantan Anggota Komisi II DPR M Gamari Sutrisno menyampaikan mafia tanah bisa beroperasi karena birokrasi pertanahan yang korup. Hal inilah yang menyebabkan adanya rekayasa sertifikat tanah oleh oknum di internal ATR/BPN.

“Lalu ada kolusi dengan aparat keamanan dan pejabat daerah, sementara pengawasan lemahnya, dan peraturan yang seringkali dibuat untuk memudahkan investor besar, bukan melindungi rakyat,” paparnya.

Laporan: Yassir Fuady

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi