Jakarta, Aktual.com – Banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Sumatera kembali memantik sorotan. Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, menegaskan bencana yang menewaskan ratusan warga tersebut bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan buah dari tata kelola hutan yang mandek dan alih fungsi lahan yang kian tak terkendali.

Slamet menyatakan keprihatinan mendalam atas jatuhnya korban jiwa dan kerusakan masif yang terjadi dalam bencana alam Sumatra. Ia menilai pemerintah wajib melakukan pembenahan menyeluruh terhadap pengelolaan kawasan hutan dan perkebunan.

“Hujan ekstrem memang pemicu, tetapi akar masalahnya adalah kerusakan lingkungan dan merosotnya kualitas tutupan hutan. Pemerintah harus serius memperbaiki tata kelola hutan dan memastikan seluruh aktivitas perkebunan mematuhi prinsip keberlanjutan,” ujar Slamet dalam keterangan tertulisnya, Senin (01/12/2025).

Menurutnya, sebagian besar kawasan hulu di Sumatera telah mengalami degradasi parah akibat pembukaan hutan, ekspansi perkebunan, hingga alih fungsi lahan tanpa analisis risiko bencana. Kondisi itu membuat daya serap ekosistem melemah dan mempercepat aliran air langsung menerjang permukiman.

Politikus PKS ini meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap izin usaha perkebunan, terutama yang berdekatan dengan kawasan lindung dan lereng rawan longsor. Ia juga mendorong percepatan restorasi daerah aliran sungai (DAS) serta rehabilitasi hutan dengan tanaman lokal.

“Daerah hulu adalah benteng ekologis. Tanpa perlindungan kuat, masyarakat di hilir akan selalu menjadi korban. Pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat pemulihan kawasan yang rusak dan mengembalikan fungsi ekologis hutan,” tegasnya.

Selain itu, Slamet menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam menjaga ekosistem Sumatera. Ia mendorong penerapan standar keberlanjutan di sektor perkebunan sawit, kopi, hingga kakao serta memperkuat peran masyarakat dalam pengawasan lingkungan.

“Banjir bandang ini adalah peringatan keras. Pemerintah harus memperketat pengawasan, membenahi tata ruang berbasis risiko, dan memastikan kegiatan usaha tidak merusak daya dukung lingkungan. Kita tidak boleh terus mengulang kesalahan yang sama,” tutupnya.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi