Frank Lucas tidak terlihat seperti gangster. Ia pria berjas, duduk di dalam limusin, ditemani sopir yang sopan dan koper uang tunai. Namun di balik citranya yang halus, dialah dalang peredaran heroin terbesar di New York pada 1970-an.
Denzel Washington memerankan sosok itu dalam American Gangster. Dia bukan sosok penjahat murahan, tetapi pebisnis, yang mengatur rantai pasok heroin dari sumber di Asia hingga klub malam Manhattan. Lucas punya jaringan, sistem, dan terutama aliran uang yang mampu membeli perlindungan hukum dan kekuasaan.
Yang menjatuhkan Lucas bukan razia besar. Bukan konferensi pers dengan puluhan kilogram heroin di meja. Ia tumbang ketika detektif bernama Richie Roberts memilih mengikuti uang.
Roberts menelusuri rekening bank, uang yang dipindahkan melalui perusahaan cangkang, hingga koper diplomat yang menjadi pintu belakang pencucian dana.
Saat uang berhenti mengalir, seluruh kerajaan narkoba Lucas runtuh seperti bangunan rapuh tanpa fondasi. Film itu mengingatkan bahwa perang narkoba bukan soal mengangkat barang bukti ke kamera, melainkan soal membongkar ekonomi kriminal.
Indonesia hari ini berdiri di persimpangan itu. Kasus Dewi Astutik, perempuan 43 tahun yang ditangkap di Kamboja setelah masuk red notice Interpol, adalah bukti betapa narkoba bukan lagi urusan gang kecil, tetapi bisnis lintas negara.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut Dewi sebagai aktor utama penyelundupan dua ton sabu dengan nilai mencapai Rp 5 triliun. Angka itu seram bukan hanya karena sabunya, tetapi karena nilainya memberi tanda tanya besar, ke mana uang Rp 5 triliun itu bergerak? Bagaimana hasil bisnis haram sebelum terungkap aparat mengalir?
Publik selalu melihat bagian spektakuler, penyergapan internasional, borgol, masker, kamera. Tapi setelah semua itu, selalu ada ruang yang sunyi. Ruang yang tidak diliput kamera: uang haram.
Setiap gram sabu yang dijual menghasilkan transaksi. Jejaknya mengalir melalui rekening orang lain, bisnis lain, bahkan nama lain. Dunia narkoba modern tidak bekerja dengan uang tunai di gudang gelap. Ia bekerja dengan rekening bersih, restoran elegan, agensi perjalanan, perusahaan digital, hingga crypto.
Penangkapan Dewi adalah prestasi, tetapi jika kita berhenti di sana, negara hanya menang di panggung, bukan di medan perang. Narkoba tidak akan berhenti selama modalnya utuh.
Mereka yang disebut bandar hanyalah wajah depan. Pemain sebenarnya bisa saja duduk jauh di belakang layar. Mereka adalah pemilik modal, pencuci uang, pelindung jaringan, bahkan orang yang dihormati di lingkungan sosial.
Inilah saat negara meniru logika yang menjatuhkan Frank Lucas: follow the money. Bukan sekadar menghitung berapa ton sabu disita, tetapi menelusuri siapa yang menerima, menyimpan, memutar, dan menghilangkan nilai transaksi itu.
BNN harus bergerak tidak hanya sebagai lembaga penangkapan, tapi sebagai penyidik finansial, menggandeng PPATK, perbankan, dan instrumen TPPU untuk membuka jalur uang gelap.
Perang narkoba sering berakhir sebagai slogan ‘berantas’, ‘zero tolerance’, ‘darurat narkoba’. Namun tanpa memutus ekonomi kriminal, perang itu hanya perang-perangan. Yang disita hanyalah barang, sementara uangnya terus hidup. Dan selama uang hidup, jaringan akan tumbuh kembali dengan wajah baru.
Kasus Dewi Astutik membuka pintu ke ruang yang selama ini gelap, aliran uang haram narkoba. Jika negara berani masuk ke sana, bukan hanya pelaku yang akan jatuh, tetapi sistemnya. Itu pelajaran dari Frank Lucas, menang perang narkoba berarti menghentikan napas bisnisnya. Dan napas itu adalah uang.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















