Jakarta, Aktual.com – DPR RI mengisyaratkan ada ‘dekengan’ atau perlindungan dari jenderal bintang dua dan tiga terkait penebangan kayu di pulau Sumatera. Kondisi inilah yang menyebabkan hutan gundul sehingga berdampak pada bencana banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Soeharto atau Titiek Soeharto, menegaskan, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup tak perlu takut dengan para jenderal bintang dua dan tiga yang menjadi ‘dekengan’ penebangan kayu.
“Kami mendukung kementerian menindak siapa pun yang merusak, tidak perlu takut apakah di belakangnya ada bintang dua atau tiga,” kata Titiek, usai rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Titiek menyoroti temuan kayu-kayu besar yang memenuhi aliran sungai dan garis pantai setelah banjir. Ia meminta pemerintah mengusut pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Pohon-pohon besar yang butuh puluhan tahun tumbuh itu dipotong tanpa perasaan. Kami minta dicari siapa yang menyebabkan batang-batang kayu itu sampai memenuhi sungai,” ujarnya.
Titiek menyampaikan, Pemerintah memang harus mengambil langkah tegas untuk menghentikan kerusakan hutan yang dinilai menjadi salah satu faktor pemicu banjir dan longsor besar di Sumatera.
“Kami minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan seluruh kegiatan penebangan, baik legal maupun ilegal, yang nyata-nyata merugikan masyarakat,” kata Titiek
Ia juga menekankan perlunya penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk terhadap perusahaan besar yang diduga terlibat. Ia pun mendorong evaluasi ketat terhadap pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan.
“Stop dulu semua penebangan. Pengusaha-pengusaha itu cari makan di tempat lain lah, tanam padi, tanam jagung. Jangan tebang-tebang lagi pohon,” ujar Titiek.
Hutan Amazon Brasil
Adapun Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo menyampaikan, Indonesia perlu belajar dari pengelolaan hutan Amazon di Brasil.
Menurutnya, kawasan hutan Amazon menjadi hutan lindung yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Selain itu, Brasil memiliki lembaga pengawasan kuat bernama IBAMA yang ia sebut sebagai “KPK-nya sektor kehutanan”.
“Kita perlu penguatan kelembagaan pengawasan. Selain regulasi, bagi pelanggar harus ada tindak tegas. Jangan ada lagi main-main di belakang layar,” katanya.
Firman pun mengusulkan Pemerintah segera menetapkan moratorium izin kehutanan, terutama terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini dikonversi melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH).
Ia mengungkapkan, hasil pengecekan peta bersama kementerian terkait menunjukkan adanya kawasan lindung yang berubah fungsi akibat pemberian izin tersebut.
“Ketika pemerintah sudah memberikan izin, pemerintah tidak mampu mengontrol. Ini bukan persoalan baru, sudah lama terjadi akibat kebijakan periode sebelumnya,” tegasnya.
Firman mengatakan, meski pemerintah mengklaim tingkat deforestasi menurun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya.
Menhut Tindak Perusahaan
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni membantah bila kementerian di eranya telah menerbitkan izin penebangan hutan alam, maupun hutan tanaman industri.
“Sejak saya menjabat, saya belum menerbitkan PBPH penebangan satu pun. Yang baru diterbitkan hanya untuk jasa lingkungan atau restorasi ekosistem,” ujarnya usai rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Ia menambahkan, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan untuk menjaga hutan dan berani menindak pelanggaran.
Sebagai langkah awal, kementerian telah mencabut 500 ribu EBPH dan sedang memproses pencabutan izin 20 perusahaan seluas 750 ribu hektare (ha), termasuk di tiga provinsi terdampak banjir.
Selain itu, kementerian mengidentifikasi 12 perusahaan yang diduga berkontribusi terhadap banjir. “Penegakan hukum akan dilakukan dalam 1-2 hari ke depan,” katanya.
Langkah konkrit juga dilakukan di Taman Nasional Tesso Nilo, dengan realokasi lahan sawit untuk memperluas habitat gajah Sumatera.
“Insya Allah akhir Desember ini, minimal 31.000 ha akan disediakan untuk habitat satwa,” tambahnya.
Pihaknya juga bekerja sama dengan Satgas PKH untuk memastikan pengelolaan hutan lebih berkelanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang.
Angka Deforestasi Aceh, Sumut, dan Sumbar
Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memantau kondisi hutan di Aceh sejak 2015 hingga 26 Februari 2025. Pemantauan tersebut menggunakan metode penginderaan jauh dengan interpretasi visual manual citra satelit yaitu Landsat 8, Sentinel 2 dan Planet Scope serta dibantu dengan data peringatan dini kehilangan pohon (Glad Alert) dari Global Forest Watch (GFW).
Berdasarkan hasil pemantauan, telah terjadi kehilangan tutupan hutan sebesar 10.610 Ha di Aceh sepanjang 2024. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 19 persen atau 8.906 ha (naik 1.705 Ha) dibandingkan dengan yang terjadi pada 2023.
Lukmanul Hakim, Manager GIS Yayasan HAkA menyebutkan Aceh Selatan masih menjadi kabupaten penyumbang kehilangan tutupan hutan terbesar selama 3 tahun terakhir.
“Kami memperkirakan Aceh Selatan telah kehilangan tutupan hutan seluas 1.357 Ha sepanjang 2024,” sebutnya, pada acara launching Buku dan Talkshow “Dua Dekade Deforestasi Aceh: dari Hilangnya Hutan hingga Menurunnya Kesejahteraan” di Aula BPS Provinsi Aceh, Selasa (25/2/2025).
Aceh Timur menjadi penyumbang kehilangan tutupan hutan terbesar kedua dengan luas 1.096 Ha, kemudian disusul oleh kabupaten Kota Subulussalam dengan luas kehilangan tutupan hutan sebesar 1.040 Ha.
Pada 2024 kehilangan tutupan hutan di KEL meningkat sebesar 17.41 persen atau 845 Ha dibandingkan periode tahun sebelumnya. Hehilangan hutan di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil dari tahun 2020 – 2024, telah kehilangan hutan seluas 2.181 Ha.
Angka deforestasi di Aceh temuan HAkA tersebut lebih rendah dari hasil pemantauan oleh Global Forest Watch (GFW). GFW mencatat, pada 2024 Aceh kehilangan 13.000 ha hutan alam. Dari 2001 sampai 2024, Aceh kehilangan total sekitar 860.000 ha tutupan pohon.
Sementara, menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) periode 2013–2022, rata-rata deforestasi netto di Sumut adalah sekitar 4.675,2 ha/tahun di dalam dan luar kawasan hutan.
Namun, penelitian Yuni Yolanda, dosen teknik lingkungan Universitas Negeri Medan, menyebutkan rata-rata deforestasi di Sumut mencapai sekitar 9.884,79 ha/tahun.
Sedangkan, data dari pemantauan GFW menunjukkan, Sumut kehilangan sekitar 8.100 ha hutan alam pada 2024.
Adapun di Sumbar, deforestasi pada 2022 mencapai 27.447 ha atau 1,5 persen. Angka itu berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, menjadi 1.717.102 ha tahun 2022 dari total 1.744.549 ha luasan tutupan hutan tahun 2021.
Wakil Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf Daus menyebut, penurunan tutupan hutan di Sumbar ini disebabkan salah satunya kegiatan ilegal dalam kawasan hutan, yakni pertambangan emas tanpa izin.
Pertambangan Emas Ilegal (PETI) terpantau di empat kabupaten, yakni Dharmasraya seluas 2.179 ha, Solok 1.330 ha, Solok Selatan 2.939 ha, dan Sijunjung 1.174 ha.
Laporan: Taufik A Harefa
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















