Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.

Pada November 1988, di lereng pegunungan Thailand Selatan, hujan monsun datang tanpa kompromi. Menimbulkan longsoran lumpur, batu, dan kayu dari lereng yang dulu rimbun, kini rata gergaji. Hasilnya, ratusan rumah tersapu, lebih dari 350 jiwa melayang.

Itu bukan sekadar amukan cuaca, melainkan eksekusi izin dan gergaji (De Graff, 1990; LA Times Archives, 1989). Alih-alih menyalahkan hujan, pemerintah setempat menjawab tragedi dengan langkah radikal. Januari 1989, seluruh konsesi penebangan di hutan alam dibekukan, total logging ban. Hutan dulu ditebang, kini dijaga sebagai pagar kehidupan (Durst dkk., 2001).

Empat dekade berselang, gelombang bencana serupa tergulung di tanah kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada akhir November 2025. Terbaru, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 7 Desember 2025 mencatat korban tewas 916, dengan ratusan lainnya hilang. Selain rumah dan infrastruktur rusak, jutaan manusia terpaksa mengungsi. (Reuters, 2025; data BNPB update Desember 2025).

Tapi, berbeda dengan Thailand, pemerintah kita tampaknya memilih satu jalan penyangkalan halus. Hujan deras, siklon tropis, perubahan iklim menjadi ‘tempat aman’ berlindung ketimbang mengevaluasi kesalahan sistem dan kebijakan.

Alasan-alasan itu terus berulang. Padahal, jauh sebelum air datang, ada tangan manusia yang merobohkan perisai alami hutan di hulu DAS ditebang, izin ekstraktif terus dibuka, konsesi tambang dan logging tetap berjalan.

Laporan terbaru menyatakan bahwa sebagian perusahaan tambang dan perkebunan di Sumatra, yang izin pengelolaannya kini disorot, mungkin ikut memperburuk lubang ekologis di hulu DAS (Reuters, 2025; KLH/BPLH, 2025).

Pemerintah pun hanya bereaksi dengan janji. Akan mengevaluasi izin, menengarai pelanggaran, bahkan menyebut bakal mencabut izin perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar (Reuters, 2025).

Tapi sampai saat ini belum ada permintaan maaf publik dari pemerintah kepada warga. Tak ada pengakuan bahwa ini ulah manusia. Tak ada beban moral yang diakui resmi, hanya deretan angka korban dan janji evaluasi.

Sementara itu, air terus mengalir membawa lumpur dan kayu. Dan setiap tetesnya adalah saksi bisu bahwa bencana bukan sekadar hukuman dari langit, melainkan konsekuensi dari dokumen izin, gergaji, dan keputusan politik yang lebih memilih izin daripada keadilan ekologis.

Hutan dulu dijual sebagai konsesi. Sekarang kekuasaan menjual nyawa sebagai statistik. Hingga kapan kita percaya bahwa ini semata ‘bencana alam’?

Pada titik ini, bukan lagi soal mencari kambing hitam di antara awan dan pepohonan. Bencana ini memaksa kita bertanya, apa gunanya negara jika ia hanya datang setelah rumah hanyut?

Thailand menjawab tragedi dengan keberanian politik. Menghentikan gergaji, bukan sekadar menghentikan air. Indonesia masih sibuk merumuskan kalimat yang aman; cuaca ekstrem, anomali iklim, fenomena global, seolah tanah yang retak di hulu bukan fakta lokal.

Negara seharusnya meminta maaf kepada rakyatnya, karena izin yang diteken di ruang dingin melahirkan kuburan basah di ruang hidup warga. Permintaan maaf itu harus diikuti tindakan pembekuan izin ekstraktif di hulu DAS, audit total konsesi tambang dan HPH/HTI, pemulihan kawasan lindung, serta mekanisme ganti rugi dan pemulihan psikologis bagi korban.

Jika negara tidak berani meminta maaf kepada alam dan manusia sekarang, banjir berikutnya akan menjadi surat panggilan ulang, bukan dari langit, tetapi dari hutang moral yang tak pernah dibayar.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto