Islam tidak pernah memuji perjalanan spiritual yang meninggalkan manusia dalam penderitaan. Kesalehan bukan ritual yang terpisah dari tangis rakyat. Ketika rumah hanyut, ayat yang paling mulia bukan di Kakbah, tapi di lumpur, bersama mereka yang kehilangan segalanya.
Dalam budaya kita, ibadah acapkali dipahami sebagai pendakian ke langit, padahal puncak dari ibadah justru ketika kaki menjejak tanah dan tangan mengangkat manusia dari kesusahan.
Di tengah banjir besar di Sumatera, konsep ini diuji secara brutal oleh realitas. Bukan seberapa jauh seorang pemimpin berjalan menuju tanah suci, tetapi seberapa cepat ia berlari menuju rakyat saat bencana datang.
Ironinya, di tengah ribuan rumah rusak, pengungsi tidur di lantai basah tanpa selimut, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS memilih melakukan ibadah umrah bersama keluarganya, saat wilayahnya sedang dalam status tanggap darurat banjir dan longsor.
Tindakan ini memancing kemarahan publik dan teguran keras dari Presiden Prabowo Subianto, yang menyebutnya mirip desersi, istilah militer untuk tentara yang melarikan diri saat anak buah dalam bahaya.
“Kalau yang mau lari, lari saja, dicopot Mendagri bisa,” kata Prabowo saat rapat percepatan penanganan bencana di Aceh Besar, 7 Desember.
Penegasan itu bukan sekadar ancaman politik, tetapi sinyal moral. Di tengah bencana, pemimpin tidak punya kemewahan untuk memilih ibadah sunah sementara rakyat menjalani ujian hidup yang tidak sunah untuk mereka alami.
Sebelum pergi umrah, Mirwan menerbitkan surat ketidaksanggupan menangani tanggap darurat, mengakui dirinya tidak mampu menjalankan tugas. Namun kemustahilan moral terjadi ketika pengakuan itu justru dijawab dengan perjalanan spiritual, bukan pengunduran diri atau penyerahan komando kepada pejabat yang sanggup.
Gubernur Aceh bahkan sudah menolak izin perjalanan luar negeri itu, namun Mirwan tetap berangkat. Partainya pun akhirnya memecatnya. Dari sini, tampak wajah ironis politik kita. Amanah diserahkan oleh rakyat, tetapi prioritas diserahkan kepada kamera di Kakbah.
Di tingkat nasional, kontroversi lain justru lahir dari pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang menyebut situasi mencekam akibat banjir di Sumatera terlihat hanya di media sosial.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah penderitaan seorang ibu yang kehilangan anaknya hanya karena direkam kamera ponsel? Apakah longsor yang menghancurkan kampung hanya nyata jika trending di linimasa?
Kritik paling pedas datang dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Saldi Isra, hakim MK yang berasal dari daerah bencana, menyatakan “bencana itu mencekam bukan di media sosial, tetapi di kampung saya sendiri”. Pernyataan Saldi adalah tamparan moral. Empati tidak diukur dari algoritma, tanggung jawab tidak diukur dari statistik viewer, dan keterpanggilan moral tidak diperintah oleh trending topic.
Setelah kecaman publik, Kepala BNPB meminta maaf. Namun permintaan maaf tidak mengurangi luka awal. Penderitaan rakyat sempat dipersepsikan sebagai ilusi digital. Bahkan jika itu slip verbal, slip tersebut terjadi karena cara pandang struktural, bahwa negara terbiasa melihat bencana sebagai tabel, laporan, dan presentasi.
Sementara bagi warga, bencana adalah kehilangan harta, tanah, sejarah keluarga, dan dalam beberapa kasus, kehilangan nama di kartu keluarga.
Lebih jauh, bencana kini mulai menjadi panggung pencitraan. Figur publik datang dengan rompi taktis, berpose dan membuat vlog bantuan sambil tersenyum. Pola ini sama, tragedi menjadi panggung visual, bukan momentum introspeksi.
Ada menteri yang datang sambil membawa tim kamera, ada public figure yang bergaya layaknya aktor perang, ada politisi yang seolah ingin menulis narasi heroik dari lumpur yang tidak pernah benar-benar menyentuh jiwa mereka. Fenomena ini bukan sekadar lucu, tapi berbahaya. Ia mengikis batas antara solidaritas dan eksibisi.
Editorial ini tidak sedang mempersoalkan ibadah atau agama. Justru sebaliknya, tapi ingin mengembalikan agama ke posisi aslinya. Bahwa ibadah tanpa kepedulian sosial adalah kebohongan yang dibungkus kain ihram.
Dalam teologi Al-Qur’an, pendusta agama bukan orang yang tidak salat, tetapi orang yang salat sambil membiarkan anak yatim kelaparan. Itulah inti Al-Ma’un. Ayat itu tidak memukul ateis, tetapi memukul munafik sosial. Mereka yang menjadikan agama sebagai pakaian, bukan perbuatan.
Kepemimpinan dalam bencana adalah ujian moral paling telanjang. Tidak ada podium yang bisa menyembunyikan pelarian, tidak ada doa yang bisa menutupi kelalaian, tidak ada foto umrah yang bisa mengganti air mata pengungsi.
Menolong orang dalam bahaya hukumnya wajib, sementara umrah hukumnya sunah. Artinya, dalam skala prioritas, ada dosa yang lahir bukan dari kejahatan aktif, tapi dari ketidakhadiran. Ketika banjir datang, umrah bisa ditunda. Nyawa tidak.
Indonesia tidak kekurangan doa, tetapi sering kekurangan kehadiran pemimpin. Islam tidak pernah memuji perjalanan spiritual yang meninggalkan manusia dalam penderitaan. Dan sebuah republik tidak akan pernah selamat jika pemimpinnya lebih peduli pada wanginya kamera dibanding lumpurnya kenyataan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto
















