Kerusakan akibat tambang. Aktual/HO

Selama puluhan tahun, pemerintah mengulang daftar hambatan pemerataan sosial–ekonomi yang sama: akses pendidikan yang timpang, minimnya tenaga pendidik, infrastruktur dasar yang terbatas, serta topografi yang dijadikan alasan mengapa daerah terpencil selalu tertinggal.

Artikel di laman Sekretariat Negara (2024) dan analisis Rasyid (2025) mempertegas kenyataan bahwa narasi ini terus berputar tanpa solusi yang benar-benar mengubah keadaan. Hambatan tersebut menjadi semacam ritus birokrasi, dikutip ulang, dibahas ulang, tetapi jarang diselesaikan. Yang berubah hanyalah kesabaran masyarakat yang diminta menunggu lebih lama.

Namun menariknya, daftar hambatan itu hanya muncul ketika negara berbicara tentang layanan publik. Ketika masuk ke urusan investasi sumber daya alam, terutama sektor tambang dan hasil hutan, negara mendadak lincah.

Ombudsman RI (2021) menunjukkan bahwa perubahan kewenangan izin pertambangan dari daerah ke pusat memang menciptakan kompleksitas tata kelola dan meningkatnya maladministrasi. Dokumen menumpuk, legal opinion berlarut, tetapi izin tetap melaju.

Topografi yang dahulu menjadi alasan mengapa sekolah sulit dibangun, tiba-tiba bukan hambatan bagi alat berat dan konsesi tambang. Rupanya hanya birokrasi tertentu yang mampu menembus gunung dan menyeberangi laut dengan kecepatan yang tidak pernah dimiliki program-program pemerataan sosial.

Kontras ini semakin mencolok ketika kita melihat panggung diplomasi global. Pada COP30, Indonesia berkomitmen menyumbang US$1 miliar untuk Tropical Forest Forever Facility, setara dengan kontribusi Brasil, sebuah pernyataan besar tentang kepemimpinan Indonesia dalam konservasi hutan tropis (FWI, 2025).

Namun laporan Forest Watch Indonesia dalam dokumen yang sama justru menunjukkan bahwa deforestasi kita meningkat tajam, rata-rata 675.000 hektare hilang setiap tahun pada 2021–2024.

Komitmen miliaran dolar untuk menyelamatkan hutan dunia ternyata tidak cukup untuk menghentikan hilangnya hutan di halaman sendiri. Di meja diplomasi, kita berbicara dengan istilah konservasi, keberlanjutan, dan kepemimpinan global.

Tetapi di dalam negeri, izin eksploitasi SDA bergerak seperti ekspedisi kilat. Di titik inilah satire menemui ruangnya: mengapa negara mampu meneken komitmen internasional bernilai triliunan, namun kesulitan membangun jembatan menuju sekolah terpencil?

Mengapa izin tambang bisa melesat melewati birokrasi yang katanya kompleks, tetapi pemerataan sosial selalu kandas di alasan geografis? Dan mengapa pemerintah begitu percaya diri menjadi penyelamat hutan dunia, sementara hutan sendiri tak pernah benar-benar diselamatkan?

Jika Indonesia ingin dihormati sebagai pemimpin konservasi global, logika kebijakan harus selaras. Pemerataan sosial tidak boleh kalah cepat dari izin tambang, dan diplomasi tidak boleh melampaui realitas ekologis.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto