Di saat air naik di Aceh, negara justru sibuk berdiri tegak di podium perencanaan. Banjir dan longsor datang silih berganti, warga mengungsi, akses terputus, dan pemerintah daerah sampai harus menyurati lembaga internasional untuk meminta dukungan pemulihan. Negara terlihat kecil, rapuh, dan terlambat. Namun pada waktu yang hampir bersamaan, negara tampil percaya diri. Optimistis menyusun rencana besar: Papua diproyeksikan sebagai lumbung sawit dan energi masa depan.
Dua peristiwa ini seperti dua wajah dalam satu cermin. Yang satu berkabut lumpur dan duka, yang lain terang oleh jargon ketahanan dan swasembada. Ironinya terasa tajam. Ketika hutan-hutan di Sumatra tak lagi mampu menahan hujan, negara tidak berhenti sejenak untuk bertanya mengapa. Sebaliknya, negara melangkah cepat ke hutan lain yang lebih luas, lebih hijau, dan lebih jauh dari pusat perhatian, dengan keyakinan bahwa kali ini segalanya bisa dikendalikan.
Aceh bukan sekadar cerita tentang cuaca ekstrem. Ia adalah catatan panjang tata kelola ruang, pembiaran kerusakan, dan respons yang selalu reaktif. Setiap musim hujan menjadi ujian, dan hampir selalu hasilnya sama. Evakuasi, bantuan darurat, lalu lupa. Pencegahan hadir sebagai wacana, bukan prioritas. Ketika air surut, diskusi ikut surut. Hingga hujan berikutnya datang, dan negara kembali terkejut, seolah banjir adalah peristiwa yang tak pernah bisa diprediksi.
Di sisi lain, Papua diperlakukan sebagai lembar baru. Sawit dibingkai sebagai solusi energi, kemandirian, penghematan devisa. Bahasa yang dipakai rapi, optimistis, dan penuh angka proyeksi.
Yang jarang disertakan adalah pelajaran dari halaman-halaman sebelumnya, bagaimana ekspansi sawit di banyak wilayah lain meninggalkan deforestasi, konflik lahan, dan kerentanan ekologis yang pada akhirnya juga memproduksi bencana. Seolah negara berkata, kegagalan masa lalu bukan peringatan, melainkan sekadar catatan kaki.
Masalahnya bukan Aceh versus Papua. Masalahnya adalah cara berpikir yang memisahkan bencana dari kebijakan. Banjir diperlakukan sebagai takdir, pembukaan hutan sebagai strategi. Yang satu disebut musibah alam, yang lain disebut pembangunan.
Padahal keduanya berada dalam satu garis sebab-akibat. Hutan yang hilang hari ini adalah air yang meluap esok hari. Tanah yang dibuka tanpa kehati-hatian adalah longsor yang tinggal menunggu giliran.
Optimisme negara patut dihargai jika berdiri di atas kehati-hatian dan ingatan. Namun optimisme yang menutup telinga pada peringatan justru berbahaya. Ketika negara cepat merencanakan eksploitasi baru tetapi lambat membenahi kerusakan lama, yang lahir bukan ketahanan, melainkan siklus krisis. Bantuan internasional mungkin datang, tenda darurat mungkin berdiri, tetapi bencana berikutnya juga sedang diproduksi diam-diam di ruang-ruang kebijakan.
Rakyat, dalam narasi ini, kerap hadir sebagai angka: jumlah pengungsi, luas lahan, target produksi. Mereka jarang hadir sebagai subjek yang menentukan arah. Di Aceh, mereka adalah korban yang harus bertahan. Di Papua, mereka berpotensi menjadi penonton atau korban berikutnya dari eksperimen optimisme.
Negara perlu berhenti sejenak. Bukan untuk mematikan mimpi, melainkan untuk membaca ulang kenyataan. Ketahanan energi tidak bisa dibangun di atas kerentanan ekologis. Pembangunan tidak bisa terus mengandalkan amnesia. Sebelum menggambar peta sawit di Papua, ada satu pertanyaan sederhana yang layak dijawab: mengapa hutan di Aceh sudah tak sanggup lagi menahan hujan?
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















